Senin, 19 Desember 2016
Simfoni Langit Nabawi
Bagaimana suasana masjid di negrimu? Hening dan syahdu? Tak tampak balita, apalagi bayi yang baru bisa merangkak, yang digendong ummi-umminya ke masjid-masjid. Tak elok, kata sebagian orang. Anak kecil ribut, takut nanti mengganggu ibadah yang lainnya. Banyak ummi, termasuk saya (ngaku haha), menjadikan alasan memiliki balita sebagai excuse-untuk tak ke masjid-terutama tarawihan d bulan puasa.... Ah ah ah ruginya....Padahal masjid hanya beberapa langkah dari rumahnya....
Di negri ini, di masjid suci ini, masjid Nabawi. Pikirmu sesyahdu itu? Mungkin, di saat sebelum dan ketika adzan berkumandang. Ketika tiba waktunya sholat berjamaah? Heranku, tangisan-yang lebih menyerupai pekikan, raungan, jeritan- serentak membahana. Tak hanya satu, dua, tiga. Semua anak berlomba bagai simfoni yang memekakkan telinga! Seolah semua diserang rasa haus akan air susu ibunda-di waktu yang sama! Ummi pun kewalahan. Sembahyang sambil menggendong batita yang selain menangis, juga menendang dan menggeliat-geliat (kurasa, karna aku tak melihatnya. Bagaimana bisa? Aku pun sedang menghadapNya). Semua meraung mencari perhatian ummi yang sedang khusyuk sembahyang.
Menangislah nak....minta ampunkan dosa-dosa orangtuamu!
Menangislah nak....hingga menembus langit dan didengar oleh malaikatNya!
Menangislah nak....ingatlah kelak kau dewasa, hanya tempat inilah yang kan setia mendengar dukamu!
Menangislah nak....tenggelamlah dalam sujudmu!
Menangislah nak....sungguh Allah mendengar kerinduanmu!
Menangislah nak....atas duka yang terjadi pada saudara saudarimu di Aleppo, Ghaza, Rohingya!
Menangislah nak....mohon ampunkan kami yang tak mampu berbuat apa-apa selain donasi dan doa!
Menangislah nak...sungguh Ia adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Pengabul Doa!
Nabawi, suatu sore di bulan Desember, dari hati seorang hamba yang kerdil-yang bila tak ingat umur-akan turut menjerit menangis memohon ampun pada Ilahi.
Ayo anak-anakku, kita ke masjid.....
Cinta Di Bongkahan Es Batu
Ini es batu. Semua juga tahu. Dingin dan kaku. Seperti ayahku. Ayah yang tak terlalu banyak bicara. Ayah yang memiliki keterbatasan cara dalam mengekspresikan kasih sayang pada anak-anaknya...
Namun dalam bongkahan-bongkahan es batu ini, ada cinta. Banyak cinta. Cinta kasih seorang ayah yang orang bilang hanya sepanjang penggalan. Kata siapa. Buktinya lelaki tua berkepala nyaris plontos ini rela masa pensiunnya diisi dengan mengasuh dua cucunya. Seorang cucu perempuan empat tahun. Seorang cucu lelaki satu setengah tahun. Ia mengasuh tanpa dibantu. Bayangkan lelah dan luar biasanya.
Cinta di bongkahan es batu. Kupersembahkan untuk ayahku. Ayah yang tampak acuh tak acuh. Selalu menyiapkan es batu, hal kedua yang dicari anak perempuannya itu sepulang bekerja-setelah mencium pipi-pipi gembil bau iler cucu-cucunya.
Dan ya! Ayahku sangat mencintaiku. Di balik kekakuan dan kecanggungannya. Ia sungguh sangat menyayangiku.
Aku sayang ayahku 😊
Langganan:
Postingan (Atom)