Minggu, 13 Juli 2014

Akhir Sebuah Perantauan



November 2008.

Saya baru saja diwisuda dua bulan sebelumnya. Ijazah dan transkrip nilai saya baru saja diambil, fresh from the oven.
Lalu apa setelahnya?
Saya akan melanjutkan hidup saya dengan cara bagaimana?
Terus terang, belum terpikirkan.

Tibalah saya dipertemukan dengan seorang rekan yang telah menjadi Pimpinan Tim di sebuah Bank Swasta Asing di Ibukota. Langsung saja saya menyodorkan diri (hey, you gotta make a chance for your ownself, not only waiting for a chance to be offered!) untuk menjadi pegawai di Bank-nya. I think that will be cool, fresh graduated, bekerja di Bank Asing, di Ibukota pula. Belum tentu saya mendapatkan kesempatan itu, memang. At least I’ve tried.

Kepergian saya pada mulanya ditentang oleh kedua orang tua saya. Lantas ayah saya melunak dan mengatakan, oke, pergilah kamu, tempalah diri kamu dulu di negeri orang (ceileh cuma lintas pulau aja pake bilang negeri orang hahaha) , lalu setahun atau dua tahun sesudahnya, kembalilah kamu untuk pekerjaan yang tetap disini.

Ibu saya menangis, tentu. Beliau masih belum rela melepas anak gadisnya yang cantik jelita (80% bohong!, berarti kadar kecantikan saya ini hanya 20%...) ke kota yang (katanya) super keras, super biadab! Hahaha. How come.

Saya pun tak menyangka akan memiliki keinginan untuk merantau. FYI, ketika saya PKL kampus saya dulu ditahun ketiga kuliah, di sebuah pabrik di Ibukota (dan sekitarnya), saya menangis sesenggukan merindukan keluarga saya dan menyesali keputusan PKL diluar kota tersebut-sampai-sampai nenek saya datang menemani saya di kontrakan petak empat yang saya sewa berdua dengan teman saya.

Apa yang membuat saya membulatkan tekad merantau? Ikuti hati... Life is full of mistery. And for me, misteri itu ternyata terkait dengan... JODOH.

Hahaha. Pada akhirnya saya memang berjodoh dengan seorang lelaki yang saya temui di Bank Swasta Asing tersebut.

Dan lelaki ini pulalah-yang mengantarkan saya-dari seorang perempuan kota kecil yang penuh mimpi, sedikit-demi-sedikit mulai menjemput impiannya satu per satu.

Dimulailah perjalanan saya. Saya tipe yang cepat bosan bekerja. Resign dari Bank Swasta Asing hanya dalam hitungan 3 (tiga) bulan saja. Saya pun hijrah ke Bank Syariah, pelopor Bank Syariah, tepatnya. DIsini pula tak lama. Hitungan 6 (enam) bulan, saya cabut-tanpa permisi-tanpa surat resign-mangkir begitu saja. Karena apa? Karena saya diterima di sebuah perusahaan BUMN, pada akhirnya....

Puas?
Iya, awalnya.
Akhirnya saya menang, begitu pikir saya. Saya berhasil menaklukkan ‘kejam’nya Ibukota. Saya berhasil membuktikan pada orangtua saya bahwa saya mampu-tanpa campur tangan mereka (selain doa) untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan membanggakan.

Awalnya.

Akhirnya?
I am getting sick of it. Lima sampai enam jam perjalanan setiap harinya akhirnya membuat saya menyerah. Kalah. Tidak, bukan menyerah selamanya. Saya hanya butuh sedikit...beristirahat. Saya sudah cukup bertarung. Saya ingin duduk santai sambil menikmati secangkir kopi (dingin, tentunya) dan sebatang coklat kesukaan saya. 

Saya tidak menyerah.

Saya ingin kehidupan saya...seimbang.

Tidak melulu menghadapi macetnya jalan, keruhan dimana-mana.

Saya ingin menyeimbangkan hidup saya, dan suami saya, dan terutama, anak saya.

Disinilah saya, Juli 2014.

Kurang beberapa bulan dari masa 6 (enam) tahun menjadi seorang perantauan.

Saya kembali... Kembali ke kehidupan yang jauh-lebih-sederhana. 
Saya ingin menikmati secangkir teh sambil berbincang dengan keluarga saya.
Saya ingin menyesapi momentum, sesaat saja, untuk mengumpulkan kembali energi saya untuk bertarung.
Saya ingin meraih mimpi yang tak kunjung bisa saya wujudkan di Ibukota-karena terbentur sedikitnya waktu.

Saya tak bermaksud untuk bermanja-manja, kembali ke zona nyaman saya, saya hanya butuh...istirahat. Sejenak...

Bolehkah?


Rumah Yang Ditinggal

Suatu hari aku melewati sebuah rumah besar. Tertulis jelas-jelas di pagar yang dinding sisi kiri kanannya telah dihiasi lumut hitam, DIJUAL.

Ah, kemanakah para penghuninya?
Disana pasti pernah terukir cerita. Kehangatan ruang keluarga, cerianya anak-anak berlarian menyusuri tangga, suami istri yang bercengkrama, ada pula kakek dan nenek yang datang dari desa...

Rumah besar itu terkesan angkuh dan dingin. Apakah kesendirian yang membuatnya demikian? Apakah yang membuatnya-yang sedianya menjadi tempat tinggal-kini malah ditinggalkan? Mereka semua pastilah berbahagia-hidup berkecukupan-di rumah semegah itu, bukan?

Apakah itu karena...

Rumah yang jauh lebih besar? Di luar kota? Atau mungkin di luar negeri?

Apakah penghuninya sudah tak ada lagi di dunia ini?

Apakah penghuninya telah jauh hari berpisah satu sama lain?

Apakah seluruh penghuninya memilih untuk melewati harinya-masing-masing-saja-sendiri-sendiri?

Ah, entahlah...

Rumah yang ditinggal selalu menjadi saksi bisu akan cerita suatu keluarga. Bagaimana mereka berbahagia, bagaimana mereka berjuang, bagaimana mereka bertengkar, bagaimana mereka bertahan....

Semoga saja, si rumah yang ditinggal segera mendapatkan tuan rumah barunya. Dan demikian, si rumah pun akan kembali hangat-seperti sedia kala.

Senin, 07 Juli 2014

My Baby Loves Jazz!


Oh, really. 

How do I know?

Of course I know, I’m her momma :D

Ketika bayi. Ia masih berusia sekitar beberapa minggu. Kala menangis ia hanya akan berhenti ketika mendengar lantunan suara Glenn Fredly di iklan suatu merk kopi. Dan ketika beranjak dewasa (jika belasan bulan telah dikategorikan demikian haha), ia senang mendengar Raisa dan Andien.

Mungkin, memang, karena ibunya suka. Tapi seingat saya, saya jarang sekali mendengarkan musik saya di hadapannya. Saya paling-paling mendengar musik di dalam perjalanan. Di rumah, total Alika. Musik yang disetel paling hanya classical-instrumental pengantar tidurnya. Dan saya ingat, dulu, kala ia di dalam kandungan, ia suka saya perdengarkan berbagai musik klasik, memang (dan Adam Levine. Dan One Direction kalau tidak salah hahaha).

Anak kan memang berbeda-beda. Alika akan berjoget mendengarkan irama flute atau piano yang-saya-saja-hanya-mendengar--samar-dan mengalir dalam alunan indah nan sederhana, ia begitu semangat mendengarkannya, sambil menggoyangkan kepala dan memijakkan kaki ala-ala balerina. Ia pasti akan bangkit berdiri mendengarkan lantunan alat musik di Pony Bear tersebut (on Baby First)- saat si Pony menebak suara apa gerangan yang diputar oleh pemutar piringan hitamnya. Namun ketika mendengarkan acara anak lainnya, misal, Monkey Say Monkey Do on Jim Jam, ia tidak begitu memerhatikan. Tak masalah, bukan? Hanya soal selera (Oh my God! We’re talking about 21 months old baby girl loh ini, tau apa dia soal taste? Haha!).

Alika pun sangat pay attention ketika band live music di sebuah kafe memainkan lagu… jazz. Bahkan, ia bertepuk tangan ketika sang band mengakhiri penampilannya. Ketika band tersebut memainkan musik yang agak-keras-(tak sesuai seleranya), ia cuek saja. Melengos sambil melanjutkan makannya…

Psst…selain jazz, ia juga suka dangdut dan K-Pop. Hahaha. Apalagi iklan macam ichi-ocha, mie sedam ayam krispi (yang goyang-goyang pipi itu looh), dan banyak lagi kok yang dia suka. Macam-macam. Belum dapat disimpulkan secara mutlak. Apapunlah itu, my dear, tetaplah menjadi anak sholehah yaa.

Kamis, 03 Juli 2014

Tentang Pemilu 2014

Pemilu Presiden 2014 ini adalah pemilu paling HOT yang pernah saya alami. Mungkin karena calonnya hanya ada dua. Kemajuan teknologi memudahkan siapa saja untuk mengakses apa saja dan lalu berkomentar sesukanya. Baguslah. Berati masyarakat sudah semakin melek politik.

Saya pun termasuk.

Saya membela pilihan saya sekuat hati. Mengapa? Saya mau mengajak. Bukan untuk kepentingan saya pribadi, bukan. Saya hanya ingin melihat negara kita ini menjadi hebat, bukan sekadar mengandalkan bantuan, bantuan, dan bantuan.

Salah?

Pasti, bagi yang tak sepaham. Buat saya tidak masalah. Mereka pun memiliki pandangan sendiri terhadap apa yang mereka anggap baik untuk diri mereka dan negara.

Lalu mengapa saya masih menerima, katakanlah, perlakuan yang menurut saya kurang menyenangkan. Bukankah saya tidak melakukan apa-apa selain mengajak memilih jagoan saya? Mengapa pihak seberang memilih untuk mengintimidasi saya bahwa pilihan saya: SALAH.

Ada juga kelompok yang mulai jengah. Topik yang sama selama berminggu-minggu membuat mereka gerah. Eneg, katanya. Ya tidak masalah juga. Tidak berarti mereka tidak ikut memilih, kan? Mungkin saja mereka telah menentukan pilihannya, namun memilih untuk tidak ikut serta dalam mengajak sekitarnya agar turut menjagokan jagoannya. Note ya, mengajak. Bukan mengintimidasi dan mengatakan pilihan lawan salah :)

Tidak masalah.

Jadi ada 3 kubu sebenarnya sekarang. Kubu persuasif (saya), kubu intimidatif (yang meneror saya), dan pasif (yang mengatakan eneg).

Apapun. Itu pilihan masing-masing.

Sungguh pun demikian, saya hanya menginginkan yang terbaik untuk negara ini. Negara besar yang entah mengapa masih dinominasi oleh kemiskinan :( Hal ini membuat saya sedih. Jurang pemisah antar the have dan the haven't semakin lebar.

Suatu waktu saya melihat orang mengendarai lamborghini. Di waktu lain saya melihat ibu dan anak mendorong gerobak sampah di malam hari.

Suatu waktu saya melihat Ibu menggadaikan emas dalam jumlah fantastis hanya untuk belanja bersama anak-anaknya. Di waktu lain saya melihat bayi-bayi yang diajak mengamen di lampu merah di keramaian ibukota.

Saya sedih.

Jadi saya memilih untuk mengajak-orang-orang dalam menentukan pilihannya. Pilihlah yang akan membuat bangsa ini sejahtera. Yang akan mengerucutkan jarak pemisah the have dan the haven't. Yang akan membuat semakin banyak anak tukang becak dan kuli bangunan menikmati indahnya wisuda. Yang akan menjaga kedaulatan RI. Yang akan menjadikan Indonesia bangsa yang mandiri-tanpa bergantung pada asing di setiap jengkalnya.

Saya memang bukan saudaranya capres jagoan saya. Saya juga bukan orang yang akan mendapatkan sesuatu (baca: posisi dan uang) karena membelanya. Saya juga bukan calon menantunya (eh?hahaha). Saya hanya orang asing baginya-satu dari jutaan pendukungnya-yang tetap akan mencari nafkah bagi keluarga sendiri bila pun ia nanti terpilih :)

Jadi, berhentilah bersikap apatis. Menanyakan memangnya dapat apa dapat apa-jika melakukan sesuatu-yang diluar kebiasaan kita. Mulailah berpikir mengenai kehidupan yang lain di luar kehidupan kita. Jika kita semu hanya memikirkan "yang penting aku dan keluargaku makan. Hidup aman". Lalu bagaimana dengan orang lain-yang baginya makan dan merasa aman-itu adalah suatu kemewahan?

Ah, saya pun sama juga ternyata. Menyebut orang lain apatis otomatis membuat saya sama saja dengan mereka. Mengatakan "situ jelekin A, sini jelekin B, trus yang baik siapa? Kamu? Mikir!".

Lantas apakah itu membuat si pembicara menjadi orang baik? Tidak juga.

Jadi ya sudah. Jalani saja hidup kita tanpa perlu rewel dengan orang yang tak sepaham. Yang penting kita dan keluarga kita makan, toh?

Hahaha *kaliiniantiklimaks*