November 2008.
Saya baru saja diwisuda dua bulan sebelumnya. Ijazah dan transkrip nilai saya baru saja diambil, fresh from the oven.
Lalu apa setelahnya?
Saya akan melanjutkan hidup saya dengan cara bagaimana?
Terus terang, belum terpikirkan.
Tibalah saya dipertemukan dengan seorang rekan yang telah menjadi Pimpinan Tim di sebuah Bank Swasta Asing di Ibukota. Langsung saja saya menyodorkan diri (hey, you gotta make a chance for your ownself, not only waiting for a chance to be offered!) untuk menjadi pegawai di Bank-nya. I think that will be cool, fresh graduated, bekerja di Bank Asing, di Ibukota pula. Belum tentu saya mendapatkan kesempatan itu, memang. At least I’ve tried.
Kepergian saya pada mulanya ditentang oleh kedua orang tua saya. Lantas ayah saya melunak dan mengatakan, oke, pergilah kamu, tempalah diri kamu dulu di negeri orang (ceileh cuma lintas pulau aja pake bilang negeri orang hahaha) , lalu setahun atau dua tahun sesudahnya, kembalilah kamu untuk pekerjaan yang tetap disini.
Ibu saya menangis, tentu. Beliau masih belum rela melepas anak gadisnya yang cantik jelita (80% bohong!, berarti kadar kecantikan saya ini hanya 20%...) ke kota yang (katanya) super keras, super biadab! Hahaha. How come.
Saya pun tak menyangka akan memiliki keinginan untuk merantau. FYI, ketika saya PKL kampus saya dulu ditahun ketiga kuliah, di sebuah pabrik di Ibukota (dan sekitarnya), saya menangis sesenggukan merindukan keluarga saya dan menyesali keputusan PKL diluar kota tersebut-sampai-sampai nenek saya datang menemani saya di kontrakan petak empat yang saya sewa berdua dengan teman saya.
Apa yang membuat saya membulatkan tekad merantau? Ikuti hati... Life is full of mistery. And for me, misteri itu ternyata terkait dengan... JODOH.
Hahaha. Pada akhirnya saya memang berjodoh dengan seorang lelaki yang saya temui di Bank Swasta Asing tersebut.
Dan lelaki ini pulalah-yang mengantarkan saya-dari seorang perempuan kota kecil yang penuh mimpi, sedikit-demi-sedikit mulai menjemput impiannya satu per satu.
Dimulailah perjalanan saya. Saya tipe yang cepat bosan bekerja. Resign dari Bank Swasta Asing hanya dalam hitungan 3 (tiga) bulan saja. Saya pun hijrah ke Bank Syariah, pelopor Bank Syariah, tepatnya. DIsini pula tak lama. Hitungan 6 (enam) bulan, saya cabut-tanpa permisi-tanpa surat resign-mangkir begitu saja. Karena apa? Karena saya diterima di sebuah perusahaan BUMN, pada akhirnya....
Puas?
Iya, awalnya.
Akhirnya saya menang, begitu pikir saya. Saya berhasil menaklukkan ‘kejam’nya Ibukota. Saya berhasil membuktikan pada orangtua saya bahwa saya mampu-tanpa campur tangan mereka (selain doa) untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan membanggakan.
Awalnya.
Akhirnya?
I am getting sick of it. Lima sampai enam jam perjalanan setiap harinya akhirnya membuat saya menyerah. Kalah. Tidak, bukan menyerah selamanya. Saya hanya butuh sedikit...beristirahat. Saya sudah cukup bertarung. Saya ingin duduk santai sambil menikmati secangkir kopi (dingin, tentunya) dan sebatang coklat kesukaan saya.
Saya tidak menyerah.
Saya ingin kehidupan saya...seimbang.
Tidak melulu menghadapi macetnya jalan, keruhan dimana-mana.
Saya ingin menyeimbangkan hidup saya, dan suami saya, dan terutama, anak saya.
Disinilah saya, Juli 2014.
Kurang beberapa bulan dari masa 6 (enam) tahun menjadi seorang perantauan.
Saya kembali... Kembali ke kehidupan yang jauh-lebih-sederhana.
Saya ingin menikmati secangkir teh sambil berbincang dengan keluarga saya.
Saya ingin menyesapi momentum, sesaat saja, untuk mengumpulkan kembali energi saya untuk bertarung.
Saya ingin meraih mimpi yang tak kunjung bisa saya wujudkan di Ibukota-karena terbentur sedikitnya waktu.
Saya tak bermaksud untuk bermanja-manja, kembali ke zona nyaman saya, saya hanya butuh...istirahat. Sejenak...
Bolehkah?