Kamis, 03 Juli 2014

Tentang Pemilu 2014

Pemilu Presiden 2014 ini adalah pemilu paling HOT yang pernah saya alami. Mungkin karena calonnya hanya ada dua. Kemajuan teknologi memudahkan siapa saja untuk mengakses apa saja dan lalu berkomentar sesukanya. Baguslah. Berati masyarakat sudah semakin melek politik.

Saya pun termasuk.

Saya membela pilihan saya sekuat hati. Mengapa? Saya mau mengajak. Bukan untuk kepentingan saya pribadi, bukan. Saya hanya ingin melihat negara kita ini menjadi hebat, bukan sekadar mengandalkan bantuan, bantuan, dan bantuan.

Salah?

Pasti, bagi yang tak sepaham. Buat saya tidak masalah. Mereka pun memiliki pandangan sendiri terhadap apa yang mereka anggap baik untuk diri mereka dan negara.

Lalu mengapa saya masih menerima, katakanlah, perlakuan yang menurut saya kurang menyenangkan. Bukankah saya tidak melakukan apa-apa selain mengajak memilih jagoan saya? Mengapa pihak seberang memilih untuk mengintimidasi saya bahwa pilihan saya: SALAH.

Ada juga kelompok yang mulai jengah. Topik yang sama selama berminggu-minggu membuat mereka gerah. Eneg, katanya. Ya tidak masalah juga. Tidak berarti mereka tidak ikut memilih, kan? Mungkin saja mereka telah menentukan pilihannya, namun memilih untuk tidak ikut serta dalam mengajak sekitarnya agar turut menjagokan jagoannya. Note ya, mengajak. Bukan mengintimidasi dan mengatakan pilihan lawan salah :)

Tidak masalah.

Jadi ada 3 kubu sebenarnya sekarang. Kubu persuasif (saya), kubu intimidatif (yang meneror saya), dan pasif (yang mengatakan eneg).

Apapun. Itu pilihan masing-masing.

Sungguh pun demikian, saya hanya menginginkan yang terbaik untuk negara ini. Negara besar yang entah mengapa masih dinominasi oleh kemiskinan :( Hal ini membuat saya sedih. Jurang pemisah antar the have dan the haven't semakin lebar.

Suatu waktu saya melihat orang mengendarai lamborghini. Di waktu lain saya melihat ibu dan anak mendorong gerobak sampah di malam hari.

Suatu waktu saya melihat Ibu menggadaikan emas dalam jumlah fantastis hanya untuk belanja bersama anak-anaknya. Di waktu lain saya melihat bayi-bayi yang diajak mengamen di lampu merah di keramaian ibukota.

Saya sedih.

Jadi saya memilih untuk mengajak-orang-orang dalam menentukan pilihannya. Pilihlah yang akan membuat bangsa ini sejahtera. Yang akan mengerucutkan jarak pemisah the have dan the haven't. Yang akan membuat semakin banyak anak tukang becak dan kuli bangunan menikmati indahnya wisuda. Yang akan menjaga kedaulatan RI. Yang akan menjadikan Indonesia bangsa yang mandiri-tanpa bergantung pada asing di setiap jengkalnya.

Saya memang bukan saudaranya capres jagoan saya. Saya juga bukan orang yang akan mendapatkan sesuatu (baca: posisi dan uang) karena membelanya. Saya juga bukan calon menantunya (eh?hahaha). Saya hanya orang asing baginya-satu dari jutaan pendukungnya-yang tetap akan mencari nafkah bagi keluarga sendiri bila pun ia nanti terpilih :)

Jadi, berhentilah bersikap apatis. Menanyakan memangnya dapat apa dapat apa-jika melakukan sesuatu-yang diluar kebiasaan kita. Mulailah berpikir mengenai kehidupan yang lain di luar kehidupan kita. Jika kita semu hanya memikirkan "yang penting aku dan keluargaku makan. Hidup aman". Lalu bagaimana dengan orang lain-yang baginya makan dan merasa aman-itu adalah suatu kemewahan?

Ah, saya pun sama juga ternyata. Menyebut orang lain apatis otomatis membuat saya sama saja dengan mereka. Mengatakan "situ jelekin A, sini jelekin B, trus yang baik siapa? Kamu? Mikir!".

Lantas apakah itu membuat si pembicara menjadi orang baik? Tidak juga.

Jadi ya sudah. Jalani saja hidup kita tanpa perlu rewel dengan orang yang tak sepaham. Yang penting kita dan keluarga kita makan, toh?

Hahaha *kaliiniantiklimaks*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar