Dear, suamiku sayang.
Ijinkan aku menulis surat ini sekarang.
Bacalah nanti, jikalau aku sudah tak lagi bersisian di dunia yang sama denganmu....
Pesan untukmu tentang buah hati kita....
Suamiku,
Berjanjilah padaku untuk:
Katakanlah I love you padanya setiap kali-setiap hari, katakanlah hal manis itu sambil memeluknya...
Berangkatlah bekerja setelah berpesan padanya, "jadi anak pintar ya, nak. Cantik, pintar, sholehah, dilindungi Allah. Aamiin", seraya mencium pipinya kanan-kiri, kening, dan hidungnya.
Ia akan merengut, tentu saja.
Ia tidak pernah rela ditinggal pergi bekerja. Hahaha...
Pulanglah dengan senyuman dan tawa sumringah.
Tak peduli sepelik apapun masalah di kantor, bawakanlah oleh-oleh yang sangat berharga itu untuknya...
Niscaya ia akan menyambut dengan sukacita, langsung meminta digendong dan dimanja.
Ketika ia berangkat tidur.
Setelah senandung shalawat dan ayat kursi, nyanyikanlah lagu nina bobo yang sudah kutulis ulang untuknya:
Alika bobo, Alika bobo.
Ayo kita bobo, nak, biar cepat besar...
Alika cantik, Alika baik, Alika pintar, nak, anak sholehah....
Mimi sayang, pipi sayang, Allah sayang, nak, sama Alika....
Ucapkanlah "Assalamualaikum, anakku, wahai sang ahli surga", ketika ia bangun dari tidurnya (ah, aku bahkan bisa mengingat 'wangi' nafas paginya anak kita)-yang akan ia balas dengan senyuman paling menawan yang pernah kulihat seumur hidupku....
Tak usah marah bila ia membanting sesuatu, kesal, menangis dan berteriak - yang kadang kita tak mengerti mengapa...
Percayalah, ia tak pernah menangis karena menginginkan mainan, sayangku itu.
Ia hanya menangis bila merasa haus dan lapar atau ingin kita mengalihkan perhatian sejenak dari gadget kita...
Tak usah marah padanya, apalagi sampai membentak dan berteriak.
Cukup dengan menatap matanya lekat-lekat, ia akan mengerti bahwa perbuatannya itu tak disukai.
Ia akan mendekatimu, mencium pipimu dan memelukmu untuk mengambil hatimu dengan maksud berucap: "Maafin Alika ya, mimi, pipi. Jangan marah yaa...".
Teruslah mengajarkan ia untuk memungut apa yang ia jatuhkan.
Membereskan apa yang ia buat berantakan.
Menyayangi sekelilingnya terutama bayi-bayi kecil yang selalu ia buat tertawa, dan ya, ia akan mencoba menggendong bayi-bayi tetangga kita itu dengan tangan mungilnya. Hahaha....
Dan...
Bila tiba masamu.
Mungkin...
Untuk mencari penggantiku, suamiku....
Aku tak kuasa membayangkannya.
Ada sosok lain yang akan ia panggil Mama...
Sosok yang... hidup....
Yang akan menghabiskan lebih banyak waktu dengannya...daripadaku...
Sosok yang...kuharap...tulus menjaga anak kita, dan tentunya pula, menjaga kamu....
(Ah, aku tak dapat meneruskan bahasan yang satu ini. Aku jelas-jelas cemburu. Sampai disini air mataku tak dapat kubendung lagi... Aku percayakan mengenai hal ini padamu, suamiku).
Dan...
Bila ia merasa sendiri...
Bila ia merindukanku...
Bawalah ia kesini, ke tempat peristirahatan terakhirku...
Mintalah ia mendoakanku, niscaya doa-doanya akan meluputkanku dari incaran api neraka...
Tolong katakan padanya, aku mencintainya, sangat mencintainya melebihi duniaku dulu.
Dan aku tak pernah berhenti mencintainya dari dalam dunia yang berbeda, yang gelap gulita, yang kuhuni saat ini...
Aku tak pernah berhenti mencintainya, meski ragaku telah pergi selamanya...
Ceritakanlah padanya masa-masa kehidupan kita yang penuh cinta.
Ceritakanlah padanya perjuangan-perjuangan kita.
Agar ia tumbuh menjadi anak yang penuh cinta sekaligus selalu berjuang dalam hidupnya.
Dan...
Sampaikanlah maafku padanya....
Maaf aku tak dapat melihatnya tumbuh dewasa.
Mendampingi dan membimbingnya...
Maaf aku tak dapat hadir si pesta pernikahannya - dengan lelaki yang sangat mencintainya- yang juga hanya akan dipisahkan oleh maut saja, seperti kita...
Maaf aku tak dapat menimang anak-anaknya dan mencurahkan cintaku pada mereka...
Maaf, maaf, maaf....
Terakhir yang dapat kuucapkan.
Mohon pastikan agar ia selalu berbahagia.
Selamat.
Dan berbahagia.
Sayang cintaku untuknya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar