Selasa, 24 Juni 2014

They Are Living My Dreams


So, you see someone is living your dream.
So why?
Wanna be like them too?
Doctoral aboard.
Giving birth to a baby girl in a winter.
Take a pose in front of  Eiffel.
Work and travel-able.
Publish a book.
Becoming a star.

Just remember.
God always give us all the best.

Look at you now.
How lucky you are.
You’re also living some else’s dream.

See the man who fixes the cars.
See the woman who sweeps the streets.
They do so, so that their children be able to go to school to.
Like you…

YOU ARE LIVING A LIFE THEY ARE DREAMING!

Keep on thanking!

Senin, 23 Juni 2014

Kuota Cinta 1

Hahaha saya rasa saya sudah cukup tua untuk bicara tentang cinta  tapi membuat sesuatu diluar kapasitas kita (dengan catatan kita menginginkannya karena sesuatu yang dibuat tidak diiringi passion itu percuma) terkadang juga menyenangkan.

Bicara tentang cinta, mungkin saya punya sedikit clues (sedikit aja ya ga banyak-banyak hoho) untuk semua yang sedang dilanda cinta. Cinta tak kenal usia. Namun disini segmentasi saya adalah cinta anak muda yang (seringnya) tak terbendung, terlalu meluap-luap.

Jadi begini, kamu pernah patah hati?

Iya, saya juga, dulu.

Sakit, ya? Banget, ya? Pake acara nangis-nangisan di top floor tempat les ditemani kawan dekat? Untung ditemani, kalau tidak mungkin sudah loncat. Hahaha.

How to arrange ourselves? How to manage our feeling?

Ssst, let me tell you something, when you're on my age, that young-age-breaking-heart totally means NOTHING comparing to see you baby's sick.

Serius ini loh, patah hati yang mengharu biru dulu itu ga berarti apa-apa dibandingkan sekarang you see your beloved baby girl laying in a bed of a hospital...

Nah.

Saya bagi sedikit aturan tentang patah hati.

DO NOT LET HIM/HER KNOWS THAT YOU'VE BROKEN HEARTED
Amit-amiiit jangan sampai si mantan itu tahu bahwa mereka succesfully membuat kamu patah hati. Big no no.
Bikin listening di Path tentang lagu-lagu ditinggal kekasih, bikin hashtag di tweet dengan hashtag #akurapopo. Oh my my. Jangan! Pastikan mereka tahu kita baik-baik saja (meski di dalam hancur porak poranda hahaha).

DO A SWEET REVENGE

Contoh Taylor Swift. She turned her broken heart into songs and sell it! What a sweet revenge ever! :D

Dibanding nangis sesenggukan, baca-baca novel romance, dengerin lagu mellow, mendingan berkarya. Bikin gambar, cerpen, atau apalah mengenai sakit hati kamu (but do it with manners ya, jangan maki-maki engga jelas), setelah karyanya jadi, hati akan jadi lebih plong :)

Oke. Mungkin itu dulu tips dari saya. Seperti saya bilang sebelumnya, i'm not expert with this one. Takut salah ngomong ah ntar ada yang ngambek hihihi. Salam good readers :)

Jumat, 20 Juni 2014

I am the Queen of a Dreamland



Pemimpi ulung.
Pengharap terbesar sejagad.

Mungkin itu sebagian orang bilang tentang saya.

Yea, whatever.

Saya selalu membiarkan diri saya memiliki target-target tertentu yang menurut saya ,saya dapat mencapainya.

Sekolah di sekolah favorit. Done.

Kuliah di PT Negeri. Done.

Menyandang gelar S1 dan S2 right on time (baca: tepat waktu lulus, 4 tahun untuk S1, 2 tahun untuk S2).

Yea, me.

Yang menurut sebagian kawan 'beruntung'.

Betapa tidak. Saya di kala kuliah (err sampe sekarang juga sih hahaha) boleh dibilang ngasal, ngeyel, berbuat sesukanya, masuk kelas semaunya, kentut sembarangan (upss), jauh sekali dari gambaran seorang mahasiswi teladan. Bahkan acapkali saya mengajak teman satu gank saya bolos kuliah hanya untuk nongkrong-nongkrong di kafe (maafkan akuuuh teman-temanku sayaaang hahah).

Tapi dibalik semua itu, saya punya misi terhadap diri saya sendiri. Saya mestilah tamat tepat waktu, bagaimanapun caranya. Saya menempa diri setiap akan ujian dan sebagainya. Saya bergaul seluas-luasnya (bukan, saya bukan mahasiswi terkenal karena kecantikan dan kepandaiannya, saya lebih ke sosok yang suka nangkring dimana-mana, suka menyapa siapa saja walaupun diluar gank pertemanan saya hahaha. Iya, saya juga punya gank layaknya anak muda dong...)

Dan saya lulus S1 empat tahun. Mendapat gelar bintang aktifis kampus, pula. We o we (baca: wow). Apalah prestasi yang pernah saya torehkan untuk membuat cemerlang nama jurusan saya? Nyaris tidak ada. Jika saja dua orang anak tetangga tidak ikut latah masuk ke jurusan yang sama dengan saya (padahal sebelumnya tak ada yang pernah ada yang mempercayakan anaknya mengambil jurusan ini. Hahaha geer maksa)-itu masuk hitungan, selebihnya hampir-hampir tidak ada.

Saya kan saya. Dengan tingkat kepercayaan diri agak sedikit di atas ambang yang dianjurkan bagi manusia normal (ngetiknya ampe keselek inih hahaha), saya punya target yang bahkan saya tak utarakan pada orangtua saya.

Tau-tau anaknya maju ngambil penghargaan. Tau-tau anaknya dapat beasiswa UMKM dari Dinas Pendidikan. Tau-tau anaknya ngajar bimbel. Hahaha. Mereka taunya saya anak tukang kelayapan sama teman-temannya sampe malam. Kalo saya udah pulang larut malam, biasanya saya 'culik' satu-dua teman yang anak kost untuk menginap di rumah-agar tak dimarahi hahaha. Eh, saya nongkrongnya yang positif loh ya. Melatih nari anak-anak baru, asisten lab, penelitian ampe magrib dilanjut dengan nongkrong di tepi pantai makan jagung bakar hahaha (kebengalan tidak untuk ditiru).


I have had imagine myself to go this far, and yes, I've already gone that far :) #TMP


Waktu SMA saya pernah kepincut sekali dengan iklan Karimun Estilo yang warna-warni seperti permen, dan saya membayangkan diri saya memiliki mobil itu sendiri nantinya. Come true? Yes, it is. Meskipun bagai menunggu seribu tahun lamanya... Hihihi. Ga selebay itu kok. Enam tahun.   Lumayan lama, memang. Tapi untuk saya itu sebuah kepuasan total seeing your dream someday somehow happening:) Saya masih ingat jelas jingle iklannya looh saking membekasnya momen itu :)

Setelah tamat kuliah pun, saya lantas bermimpi kerja di bank - yang menurut 99.9% tamatan S1 is the coolest way to go. Ya ga salah sih, waktu itu pemahaman saya dan kawan-kawan lainnya kan memang begitu. Kata orang-orang, mana mungkin kamu kerja di bank, ijazah kamu kan ijazah kimia, cari kerjaan ya di pabrik laah...

Kan kata mereka. Biarkan saja mereka hidup dalam anggapannya dan saya berlanjut dengan angan saya hehe.

Dahulu pun keinginan saya  berjilbab ditentang oleh sebagian orang karena katanya jilbab itu menutup segala kemungkinan. Iya juga sih, menutup kalo yang dimaksudkan adalah kemungkinan ke neraka hihihi. Kalau saya hidup dalam anggapan mereka, entah semini apa rok saya sekarang. Itu kalau saya. Kalau Dian Pelangi yang mendengarkan anggapan mereka (mengenai jilbab menutup segala kemungkinan hidup) gimana? What a very big loss kan? Indonesia tidak akan punya designer muslimah yang mempopulerkan jilbab ke seluruh dunia dan membawa harum nama Indonesia :)

Kembali ke saya (narsistik sedikit).

Setelah pembuktian bahwa kimia pun bisa bekerja di bank, then I found out bahwa oh, this is time to step up more. I'm done being a bank(er) dan saya pun menyusun rencana baru.

Cari pekerjaan yang gajinya di  atas lima juta dan status pegawai tetap (iya, saya di bank dulu masih kontrak. Ga lama, cuma 6 (enam) bulan saja).

Ngimpi, kata orang-orang. Seorang freshgraduate yang tidak betahan kerja di bank  masa mau ngimpi dibayar segitu? Huu..

You are the one who's controlling your life. And tadaa...when God say it happen, it is happening. Saya pun diterima bekerja di perusahaan besar yang bahkan membayar saya jauh dari angka lima juta.

And where are they who limited my speed at that time now? Yea, they are still there. At the same place, same habit, same thought, and same possibilities around them. Thanks God i wasn't listening to them :D #TMP

Sekarang....
Iya, sekarang.
Saya sudah menjalani mimpi saya selama beberapa tahun.
Buat saya, this is enough.
Saatnya saya memiliki mimpi-mimpi baru, ambisi-ambisi baru, kemampuan-kemampuan baru.
Saya sudah tidak lagi puas dengan hanya berada disini.
Saya pun memutuskan diri saya untuk bermimpi. Lagi dan lagi.
Selagi masih bisa bermimpi. Selagi raga masih bisa ditempa, mengapa tidak?

Mimpi kecil saya, saya menulis kembali. Menerbitkan buku indie. Setelah hal tersebut terjadi, baru lanjut bermimpi yang lebih besar. Menerbitkan buku dengan penerbit kenamaan (mudah-mudahan dicatat malaikat lewat aamiin). Latah ya saya? Mentang-mentang ada kawan saya yang menelurkan novel, saya pun ikut-ikutan? Hahaha.

Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebajikan. Bukankah itu yang diperintah Tuhan? Manusia diciptakan with high capabilities, why we choose to be standart?

Saya bermimpi banyak saat ini.  Bekerja di Bank Indonesia. Saya rasa tidak tepat menyebut mereka bankir. Lihatlah mereka-mereka yang mengambil keputusan-keputusan maha penting demi bangsa ini. Ya, mereka tidak sekedar melayani. Mereka mengatur, mengendalikan, menjaga, dan mengawasi. They ruin, we ruin. I think that's what i call cool for now. Decision maker. Bukan lagi sekedar servant. Which is i've run for about six years. Diploma-diploma yang menjaga kestabilan politik negara. That's we-o-we for me now.

Beasiswa keluar negeri di bidang bisnis dan seni? Cambridge dan Yale adalah dua nama yang otomatis ada di kepala saya. Sepertinya saya terlalu banyak menonton serial Glee. Hahaha. Itu semua hanya sebagian kecil dari rentetan yang ada di benak saya setiap hari. Saya membayangkan bermain salju dengan anak dan suami saya. Menetap disana untuk waktu yang cukup lama, belajar dari bangsa besar bagaimana caranya menjadi besar dan mempraktekkannya dalam kehidupan saya.

I'm enough being small. I'm enough my country being fool at all time. We're a great nation but unfortunately most of us don't have faith in it... #TMP

Apalah saya, saya hanya orang biasa. Itu yang seringkali kita katakan pada diri kita sendiri. We are excusing ourselves that much. Saya tidak mengajak untuk menjadi sombong, untuk menjadi jumawa (Which is, sebagian orang memang menganggap saya demikian. But then again, I'm just responsible with things I said not with things they catched. Terserah mau anggap saya apa. Hehe). Saya mengajak, ayo kita sama-sama jadi hebat. Saya selalu menyemangati teman-teman saya yang memiliki mimpi, ayo pasti kamu bisa.

Benar, keberadaan kita hanya sepertrilyun dari satu titik di seantero alam semesta, bukankah itu alasan tepat untuk menjadi hebat? Sudahlah hanya berupa suatu noktah kecil, tak berbuat apa-apa pula. Hehe. Sayang-sayang, kan? #TMP

Tapi ada lho orang-orang skeptis yang selalu wake us up from our dreams. Ada. Banyak. Ya, ya, ya tertawakanlah saja. Bilang saya hanya bisa ngomong doang. Dan blablabla. Semua juga melakukannya sebelumnya. Saya sudah kebal, kok. Apalah yang bisa diharapkan dari seorang karyawan yang dikenal sebagai tukang protes, banyak omong, dan banyak tuntutan ini? Hehe.

See you around! Havva good heart!



Menerobos Hujan

Kala tangisan sang langit pecah, and I am on my way going home, maka saya tipe yang tidak suka diam menunggunya hingga reda. Saya lebih memilih menerobosnya. Saya tidak bisa bersedekap dua tangan, menggigil kedinginan seraya menanti.

Diaplikasikan ke dalam kehidupan, ibaratkan hujan adalah masalah. Saya lebih suka segera menyikapi masalah hingga tuntas ketimbang mendiamkan hingga kondisinya melunak. Jika tidak, saya tidak bisa tidur nyenyak.

Menerobos hujan pun tidak bisa sembarangan. Mestilah ada persiapan. Jika kita pulang berjalan kaki, berbekal payung. Jika kita mengendarai motor, bawalah jas hujan. Jika kita menyetir mobil sendiri, pastikan wiper depan dan belakang berfungsi dengan baik.

Nah :)

Permasalahan hidup begitu. Tidak mungkin menyelesaikan masalah tanpa bekal payung, jas hujan, dan wiper tadi lantas nekat menerobos hujan lebat, ujung-ujungnya ya jatuh sakit.. Kita harus mempelajari permasalahannya terlebih dahulu untuk mendapatkan solusi jitu dalam menanganinya hingga akar-akarnya...

Kembali ke situasi pertama. Hujan lebat dimana-mana. Kita hendak menuju rumah-tempat yang notabene ialah sarang kebahagiaan kita. Akankah kita tetap menanti? Jika saya, saya akan meneroboslah saja agar dapat segera memeluk bidadari kecil saya. Lima, sepuluh, lima belas menit pun terasa sangat berharga untuk saya gunakan menunggu tersia-sia. Jika saja hujan turun di saat saya di rumah dan hendak bepergian, ke mall misalnya, saya tentu lebih memilih untuk stay saja di rumah karena kepentingan tersebut tidak dalam kategori perlu-perlu amat.

"Siapa yang dapat menjamin hujan (permasalahan hidup) akan reda begitu saja? Kemungkinannya ada dua. Pertama, hujan memang reda. Kedua, hujan semakin deras dan jika kita kurang beruntung, kita bisa terjebak banjir sekalian....Maka berlarilah (berjuanglah), teroboslah saja, mungkin saja di jalan depan sana tidak diguyur hujan, alih-alih hujan malah kita dapat melihat pelangi, dan segera dapat beristirahat di rumah (kebahagiaan sejati)" #TMP

That's all for now. Thanks for reading :)

Rabu, 18 Juni 2014

Ia Menyuruhku bersenang-senang!



Aku mau resign. Mau pake banget. Pokoknya ga ada yang bisa larang-larang aku. Kamu atau pun orangtua aku. Aku udah capek. Capeeeek. Pengen ngurusin anak aja di rumah, leha-leha. Kamu aja yang suami yang getol cari duit yaa *bicara ngos-ngosan tanpa titik koma sambil elus dada*.

Resign aja siapa yang larang. Aku juga ga nyuruh kamu kerja dari awal pertama. Trus hutang di kantor kamu siapa yang bayar? Kita jual rumah? Jual tanah? Trus nanti kita jadi ga punya apa-apa? Itu maunya? Mau di rumah aja gimana lah wong rumahnya ga ada…

Ya pokoknya kamu cari jalanlaah. Kamu kan suaminya. Bikinin aku usaha kek, apa kek *ngotot*

Aku dari awal udah bilang, kamu tuh bukan tipe orang yang mau nurut disuruh-suruh orang, bosenan, moody-an. Dari awal sebelum nikah juga aku udah ingetin. Yakin ini yang kamu mau? Kerja kantoran, mana Sabtu masuk. Kamu bilang yakin. Ya jalanin. Masa berhenti di tengah jalan. Konsisten sama omongan.

Ya tapi itu kan dulu sebelum ada Keyla. Aku belum tau dan merasakan kalo ada yang lebih berharga dari pekerjaan, uang, dan segala macam itu! Masa kamu tega anak gedenya sama pembantu! *mulai deh bawa-bawa anak*

Ya udah besok kamu print aja surat resignnya. Dari dulu juga kamu diingetin selalu begitu.

Trus penalti aku resign gimana? Hutang koperasi kantor juga gimana? Kalo aku dipanggil diklat gimana? Aku ga mau lima tahun lagi ngikat diri disini! *mulai panik*

Lohh kamu kok jadi bolak balik gini sih? Dikasih ijin salah, ga dikasih juga salah.

Kamu tega banget sihhh ga mikirin aku! *mulai nangis*sok dramatis*

Istriku sayang, sekarang dengerin aku ya. Kamu ga usah ribut-ribut mau resign lagi mulai sekarang. Jalani apa yang didepan mata dengan baik. Pekerjaan kamu, bisnis kamu. Jalani keduanya sambil kita bayar kewajiban kita ke kantor kamu full. Ikatan dinas kamu kan tinggal setengah tahun lagi. Hutang satu setengah tahun lagi. Kalo kamu dipanggil diklat, ya datang aja. Nambah ikatan dinas lima tahun, dipotong masa bayar hutang satu setengah tahun, masih nyisa tiga setengah tahun untuk kamu BERSENANG-SENANG. 

Kita  dari awal kerja udah habis untuk kuliah S2, nikah, punya anak, rumah, semuanya. Kita habis-habisan di awal. Aku nurut cara kamu. Tidak mengapa. Sekarang, kamu nurut cara aku. Kamu ga aku suruh kerja buat bayar tagihan kita. Enggak. Cuma buat penuhin kewajiban kamu ke kantor kamu, kantor yang udah kasih kamu segala sesuatu yang kamu punya sekarang (atas ijin Allah). Itu aja. Seterusnya aku suruh kamu buat SENANG-SENANG. Pergi liburan sana. Ajakin orangtua kamu ke rumah Allah. Beli barang-barang bagus dan branded yang selama ini aku tahu kamu tahan-tahan buat keluarin duitnya padahal kalo kamu mau, kamu mampu. Beli gadget mahal yang kamu mau tanpa perlu merasa bersalah. Aku ga minta sepeserpun dari penghasilan kamu kerja, enggak pernah juga kan? Aku suruh kamu buat sedikit have fun dengan uang yang kamu punya. Nanti, setelah semua kewajiban kamu selesai. Aku larang kamu untuk pinjam-pinjam di kantor lagi, dari dulu udah aku larang, biar kalo kamu mau berhenti ya tinggal berhenti aja ga usah pusing-pusing gini. Hayo, jangan bilang kamu lupa ya aku pernah ngomong gitu.

Sekarang udah, do as I said. I am your husband. Let me take control of your life now. Aku engga mau kamu salah jalan (lagi). Oke? Bersenang-senanglah setelah masa susah. You worth it. Your parents worth it. Kalo anak kita ya biar aku yang mikirinlah. Aku kan bapaknya. Kewajiban aku menghidupi Keyla sama kamu. Kamu tenang aja. Kalau kamu rasa kamu sudah cukup bersenang-senangnya, lalu kamu mau berhenti kapan saja, silahkan. Tapi aku  minta kamu cari waktu yang tepat untuk itu dan aku tau sekarang bukan waktunya. Ngerti? Yeee dia malah tidur!

………………………………………………………………………………………………………
*pura-pura tidur*habisnya ga tau mau ngomong apa*kalah telak*saatnya nurutin kata suami*lagian disuruhnya senang-senang ini*hahaha*love you full dah bro*eaa

Who Is More Superior Than Another? None


Lima tahun bersama. Setahun berteman, setahun menunda menikah karena ikatan dinas kantor, tiga tahun pernikahan.

Selama masa itu, tak terhitung berapa kali saya mengambil keputusan sendiri, khususnya di bidang keuangan.

Ia selalu dan selalu mengalah. Ia menyarankan, memang. Namun ego saya sebagai wanita karir mandiri yang berpenghasilan lumayan tinggi (bukan bermaksud melagak, baca sajalah dulu semuanya), membuat saya berpikir secara liberalis cenderung materialistis (eh).

Ya, liberalis. Dimana kala itu saya gampang terhasut dengan kata-kata klise:

Uang suamimu uangmu, uangmu ya uangmu.

Meskipun istri berpenghasilan sendiri, suami tak berhak sepeserpun atas penghasilannya dan tetap wajib menafkahinya.

Istri berhak memberi sebagian penghasilan pada orangtuanya tanpa memerlukan ijin suami, namun suami tak berhak memberi orangtuanya sebelum mencukupi kebutuhan istri dan anaknya…

Itulah kesalahan saya.

Saya mengambil keputusan sendiri tanpa permisi. Ya, saya bicarakan pada suami, namun jika suami bilang tidak, saya tetap meneruskan keputusan saya dengan melancarkan argumen bertubi-tubi dan berpikir masa bodohlah, toh duit kan duit saya sendiri.

Salahkah saya?

Iya.

Totally.

Mudaratkah jadinya?

Iya.

Kecuali pada bagian menyisihkan penghasilan untuk orangtua.

Jika dihitung kembali, saya telah berkontribusi sebanyak enam puluh lima juta rupiah kerugian dalam keluarga kami.

BRAVO!

Itu jumlah yang tidak sedikit.

Saya beberkan satu per satu kesalahan saya, yang menurut saya (waktu itu) sama sekali tidak ada salahnya:

Tidak menghargai pemberian suami

Suami dan keluarganya sedianya telah memberikan sebuah rumah untuk kami tinggali. Ego saya mengatakan tidak. Rumah tualah, lokasinya di kampunglah, tetangga reselah (ya, mau magar rumah sendiri saja tidak bisa, padahal tidak menghalangi jalan atau apa dan tetangga suka menjemur pakaian di halaman rumahnya), tidak enak dengan pandangan saudara-saudara suamilah, menjadi tameng saya untuk tidak menempati rumah yang telah mereka sediakan tersebut.

Saya lebih suka menempati rumah sendiri, jauh lebih bangga menempati rumah hasil jerih payah kami berdua, itulah yang saya katakan pada suami. Padahal suami meminta untuk bersabar, tinggallah dulu saja di rumah pemberian tersebut seraya menabung untuk rumah sekaligus mencicil mobil yang saya sukai.

Seandainya saya mau menurutinya, mungkin saat ini kami bisa membeli rumah cash tanpa perlu dipusingkan cicilan KPR setiap bulannya….

Memilih investasi yang (ternyata) bodong

Suami sudah melarang. Saya bersikeras melawan. Tak dinyana lagi, semua ketakutan suami pun terbukti.

Bisnis-bisnisan

Suami ingin membuka warung roti bakar dan mie (konsepnya seperti roti bakar Eddie), saya mau bisnis pakaian.

Saya tidak mendengarkan saran suami dan membeli franchisee baju yang ditawarkan satu tokoh bisnis yang (lumayan) ternama. Tak usahlah sebut siapa. Kesalahan saya yaitu tidak mencari tahu dengan seksama tentang apa yang akan saya beli karena terlalu percaya pada tokoh tersebut.

Dan ternyata ya, saya rugi. Kualitas pakaian tidak sesuai dengan harga yang disodorkan. 

Dan voila. Menguaplah kembali pundi-pundi kami dengan mudahnya…. Semudah membalikkan telapak tangan.

Itulah tiga diantara banyak hal yang menurut saya bisa dibagikan pada kita semua dengan harapan tidak ada lagi yang merasa lebih superior (baik lelaki maupun wanitanya), tidak ada lagi yang merasa lebih berkontribusi (baik lelaki maupun wanitanya), tidak ada lagi kepentingan aku atau kamu, melainkan kita. Kepentingan kita. Klise, memang. Namun bila dijalankan sesuai koridornya, niscaya lebih gampang.

Salam sayang untuk keluarga anda semua.

“Merasa superior karena jabatan, pendidikan, karir, bisnis, dan hal-hal semacam itu adalah percuma. Apalagi jika anda seorang wanita. Ukuran superioritas wanita sejatinya adalah dalam menghebatkan pasangannya. Sekali lagi, menghebatkan pasangannya, dan bergandengan tangan mencapai tujuan hidup bersama. Dunia dan akhirat.”

On Top. On Bottom


2009-2010 : On top
Muda. Berbakat. Penuh minat. Atraktif. Imajinatif. Beranjak dari seorang fresh graduate ke tingkat beginner expert. Mulai tahu jati diri, value diri, dan apa yang diinginkan sepenuhnya. Seluruh dunia seolah berpihak padanya.

2011: Having had everything she wanted
Pasangan. Sandang. Papan. Pangan. Tabungan. Keluarga. Sahabat. Sebut saja semua. Ada.

2012: Started destructing
Mulai paceklik. Salah atur strategi ‘perang’. Tidak adanya plan B untuk membackup plan A yang gagal total. Hutang dimana-mana. Instansi maupun perorangan….

2013: On Bottom. Lost almost everything
Krisis kepercayaan. Baik terhadap diri dan orang lain. Krisis finansial. Dijauhkan dari peradaban, dari sahabat, dikucilkan. Merasa semua beban ada di pundak sendiri. Satu per satu dijual untuk menutup krisis (perhiasan, kendaraan), kecuali : rumah (masih Alhamdulillah).

2014: Begin everything once again
Semuanya mulai berangsur membaik.  Pasangan menyadarkan. Kantor lebih ramah. Teman-teman menguatkan. Dimulai dari nol untuk kembali membangun kesuksesan dan kepercayaan yang sempat hilang.

“Pasang surut kehidupan. Dari seorang superstar bisa saja jadi orang buangan. Dari dipuja bisa saja dihujat habis-habisan. Dari memiliki segalanya, bisa saja kehilangan segalanya. Pola ini akan kembali terjadi. On top. On bottom. Anda siap atau tidak, percayalah, datangnya bertubi-tubi. Bersiap untuk kesuksesan bertubi-tubi. Bersiap pulalah untuk kegagalan yang bertubi-tubi. Belajarlah dari kesalahan strategi yang lalu agar tak terulang kembali di masa depan. Paling penting, hargai semua yang anda miliki. Materi atau bukan. Terutama yang bukan….”