Lima tahun bersama.
Setahun berteman, setahun menunda menikah karena ikatan dinas kantor, tiga
tahun pernikahan.
Selama masa itu, tak
terhitung berapa kali saya mengambil keputusan sendiri, khususnya di bidang
keuangan.
Ia selalu dan selalu
mengalah. Ia menyarankan, memang. Namun ego saya sebagai wanita karir mandiri
yang berpenghasilan lumayan tinggi (bukan bermaksud melagak, baca sajalah dulu
semuanya), membuat saya berpikir secara liberalis cenderung materialistis (eh).
Ya, liberalis.
Dimana kala itu saya gampang terhasut dengan kata-kata klise:
Uang suamimu uangmu,
uangmu ya uangmu.
Meskipun istri
berpenghasilan sendiri, suami tak berhak sepeserpun atas penghasilannya dan
tetap wajib menafkahinya.
Istri berhak memberi
sebagian penghasilan pada orangtuanya tanpa memerlukan ijin suami, namun suami
tak berhak memberi orangtuanya sebelum mencukupi kebutuhan istri dan anaknya…
Itulah kesalahan
saya.
Saya mengambil
keputusan sendiri tanpa permisi. Ya, saya bicarakan pada suami, namun jika
suami bilang tidak, saya tetap meneruskan keputusan saya dengan melancarkan argumen
bertubi-tubi dan berpikir masa bodohlah, toh duit kan duit saya sendiri.
Salahkah saya?
Iya.
Totally.
Mudaratkah jadinya?
Iya.
Kecuali pada bagian menyisihkan
penghasilan untuk orangtua.
Jika dihitung
kembali, saya telah berkontribusi sebanyak enam puluh lima juta rupiah kerugian
dalam keluarga kami.
BRAVO!
Itu jumlah yang
tidak sedikit.
Saya beberkan satu
per satu kesalahan saya, yang menurut saya (waktu itu) sama sekali tidak ada
salahnya:
Tidak
menghargai pemberian suami
Suami dan
keluarganya sedianya telah memberikan sebuah rumah untuk kami tinggali. Ego
saya mengatakan tidak. Rumah tualah, lokasinya di kampunglah, tetangga reselah (ya,
mau magar rumah sendiri saja tidak bisa, padahal tidak menghalangi jalan atau
apa dan tetangga suka menjemur pakaian di halaman rumahnya), tidak enak dengan pandangan
saudara-saudara suamilah, menjadi tameng saya untuk tidak menempati rumah yang
telah mereka sediakan tersebut.
Saya lebih suka menempati rumah sendiri, jauh lebih bangga menempati rumah hasil jerih payah kami berdua, itulah yang saya katakan pada suami. Padahal suami meminta untuk bersabar, tinggallah dulu saja di rumah pemberian tersebut seraya menabung untuk rumah sekaligus mencicil mobil yang saya sukai.
Seandainya saya mau menurutinya, mungkin saat ini kami bisa membeli rumah cash tanpa perlu dipusingkan cicilan KPR setiap bulannya….
Memilih
investasi yang (ternyata) bodong
Suami sudah
melarang. Saya bersikeras melawan. Tak dinyana lagi, semua ketakutan suami pun
terbukti.
Bisnis-bisnisan
Suami ingin membuka
warung roti bakar dan mie (konsepnya seperti roti bakar Eddie), saya mau bisnis pakaian.
Saya tidak
mendengarkan saran suami dan membeli franchisee
baju yang ditawarkan satu tokoh bisnis yang (lumayan) ternama. Tak usahlah
sebut siapa. Kesalahan saya yaitu tidak mencari tahu dengan seksama tentang apa
yang akan saya beli karena terlalu percaya pada tokoh tersebut.
Dan ternyata ya,
saya rugi. Kualitas pakaian tidak sesuai dengan harga yang disodorkan.
Dan voila. Menguaplah
kembali pundi-pundi kami dengan mudahnya…. Semudah membalikkan telapak tangan.
Itulah tiga diantara
banyak hal yang menurut saya bisa dibagikan pada kita semua dengan harapan
tidak ada lagi yang merasa lebih superior (baik lelaki maupun wanitanya), tidak
ada lagi yang merasa lebih berkontribusi (baik lelaki maupun wanitanya), tidak
ada lagi kepentingan aku atau kamu, melainkan kita. Kepentingan kita. Klise,
memang. Namun bila dijalankan sesuai koridornya, niscaya lebih gampang.
Salam sayang untuk keluarga anda semua.
“Merasa superior
karena jabatan, pendidikan, karir, bisnis, dan hal-hal semacam itu adalah percuma.
Apalagi jika anda seorang wanita. Ukuran superioritas wanita sejatinya adalah
dalam menghebatkan pasangannya. Sekali lagi, menghebatkan pasangannya, dan bergandengan tangan
mencapai tujuan hidup bersama. Dunia dan akhirat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar