Rabu, 18 Juni 2014

Who Is More Superior Than Another? None


Lima tahun bersama. Setahun berteman, setahun menunda menikah karena ikatan dinas kantor, tiga tahun pernikahan.

Selama masa itu, tak terhitung berapa kali saya mengambil keputusan sendiri, khususnya di bidang keuangan.

Ia selalu dan selalu mengalah. Ia menyarankan, memang. Namun ego saya sebagai wanita karir mandiri yang berpenghasilan lumayan tinggi (bukan bermaksud melagak, baca sajalah dulu semuanya), membuat saya berpikir secara liberalis cenderung materialistis (eh).

Ya, liberalis. Dimana kala itu saya gampang terhasut dengan kata-kata klise:

Uang suamimu uangmu, uangmu ya uangmu.

Meskipun istri berpenghasilan sendiri, suami tak berhak sepeserpun atas penghasilannya dan tetap wajib menafkahinya.

Istri berhak memberi sebagian penghasilan pada orangtuanya tanpa memerlukan ijin suami, namun suami tak berhak memberi orangtuanya sebelum mencukupi kebutuhan istri dan anaknya…

Itulah kesalahan saya.

Saya mengambil keputusan sendiri tanpa permisi. Ya, saya bicarakan pada suami, namun jika suami bilang tidak, saya tetap meneruskan keputusan saya dengan melancarkan argumen bertubi-tubi dan berpikir masa bodohlah, toh duit kan duit saya sendiri.

Salahkah saya?

Iya.

Totally.

Mudaratkah jadinya?

Iya.

Kecuali pada bagian menyisihkan penghasilan untuk orangtua.

Jika dihitung kembali, saya telah berkontribusi sebanyak enam puluh lima juta rupiah kerugian dalam keluarga kami.

BRAVO!

Itu jumlah yang tidak sedikit.

Saya beberkan satu per satu kesalahan saya, yang menurut saya (waktu itu) sama sekali tidak ada salahnya:

Tidak menghargai pemberian suami

Suami dan keluarganya sedianya telah memberikan sebuah rumah untuk kami tinggali. Ego saya mengatakan tidak. Rumah tualah, lokasinya di kampunglah, tetangga reselah (ya, mau magar rumah sendiri saja tidak bisa, padahal tidak menghalangi jalan atau apa dan tetangga suka menjemur pakaian di halaman rumahnya), tidak enak dengan pandangan saudara-saudara suamilah, menjadi tameng saya untuk tidak menempati rumah yang telah mereka sediakan tersebut.

Saya lebih suka menempati rumah sendiri, jauh lebih bangga menempati rumah hasil jerih payah kami berdua, itulah yang saya katakan pada suami. Padahal suami meminta untuk bersabar, tinggallah dulu saja di rumah pemberian tersebut seraya menabung untuk rumah sekaligus mencicil mobil yang saya sukai.

Seandainya saya mau menurutinya, mungkin saat ini kami bisa membeli rumah cash tanpa perlu dipusingkan cicilan KPR setiap bulannya….

Memilih investasi yang (ternyata) bodong

Suami sudah melarang. Saya bersikeras melawan. Tak dinyana lagi, semua ketakutan suami pun terbukti.

Bisnis-bisnisan

Suami ingin membuka warung roti bakar dan mie (konsepnya seperti roti bakar Eddie), saya mau bisnis pakaian.

Saya tidak mendengarkan saran suami dan membeli franchisee baju yang ditawarkan satu tokoh bisnis yang (lumayan) ternama. Tak usahlah sebut siapa. Kesalahan saya yaitu tidak mencari tahu dengan seksama tentang apa yang akan saya beli karena terlalu percaya pada tokoh tersebut.

Dan ternyata ya, saya rugi. Kualitas pakaian tidak sesuai dengan harga yang disodorkan. 

Dan voila. Menguaplah kembali pundi-pundi kami dengan mudahnya…. Semudah membalikkan telapak tangan.

Itulah tiga diantara banyak hal yang menurut saya bisa dibagikan pada kita semua dengan harapan tidak ada lagi yang merasa lebih superior (baik lelaki maupun wanitanya), tidak ada lagi yang merasa lebih berkontribusi (baik lelaki maupun wanitanya), tidak ada lagi kepentingan aku atau kamu, melainkan kita. Kepentingan kita. Klise, memang. Namun bila dijalankan sesuai koridornya, niscaya lebih gampang.

Salam sayang untuk keluarga anda semua.

“Merasa superior karena jabatan, pendidikan, karir, bisnis, dan hal-hal semacam itu adalah percuma. Apalagi jika anda seorang wanita. Ukuran superioritas wanita sejatinya adalah dalam menghebatkan pasangannya. Sekali lagi, menghebatkan pasangannya, dan bergandengan tangan mencapai tujuan hidup bersama. Dunia dan akhirat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar