Kamis, 16 Oktober 2014

Bekasi Oh Bekasi




Awalnya saya tahu Bekasi itu jauh, dari Bapak saya. Katanya, temannya yang PNS di ibukota berangkat dari rumahnya di Bekasi pukul 5. Dengan polosnya bapak saya menanyakan, Bekasi itu jauh ya? Teman papa pergi jam 5 subuh pulang jam 9 malam. Kantornya di Jakarta. Masih syukur ya kamu di Tangerang? Untung kamu ga jadi beli rumah di Bekasi ya.
Itu satu.
Kedua, saya pernah menanyakan kepada seorang ibu-ibu di kantor Senen, tinggal dimana? Ia jawab, Bekasi. Saya yang masih lugu berpikir Bekasi itu dekat (kantor saya di Kelapa Gading, Bekasi saya rasa tak terlalu jauh dari Kelapa Gading dan Senen), lalu saya bilang, enak dong bu, deket.
Dekat apanya, jawab si ibu. Mending kamu ke Ciledug. Angkot banyak. Ga macet-macet amat. Bekasi mahhhh *si ibu tarik nafas*.
Nah. Dari keluhan si ibu saya tangkap 3 gambaran tentang Bekasi: jauh, macet dan tak terlalu gampang diakses.
Jangan marah dulu... baca ampe habisss.
Lalu, baru sekitar seminggu lalu, dimulailah 'perpeloncoan' terhadap Bekasi. Tidak tahu siapa yang memulai, adaaa saja guyonan mengenai kota industri ini. Banyak meme tercipta. Mulai dari seseorang melepas sandal saat masuk ke ATM, mereka lalu bilang, ini pasti di Bekasi. Lalu ada orang mengisi bensin full tank, katanya ini pasti orang Bekasi. Lebih parah lagi, Bekasi digambarkan sebagai planet yang terletak di antara Bumi dan Matahari. Hahaha.
Bagi kita, lucu. Beberapa di antaranya sukses membuat saya ngakak setengah mati. Bagi yang orang Bekasi asli? Orang yang tinggal dan kerja di Bekasi? Belum tentu.
Ada Bekasioners yang ikutan menertawakan kota mereka sendiri. Bagi mereka semua itu hanyalah guyonan semata.
Ada, beberapa yang malah emosi. Bagi mereka pembullyan sudah kelewatan dan tidak bisa dibiarkan.
Ada juga yang menanggapinya dengan aksi. Walikota Bekasi mengumpulkan staffnya untuk pembenahan kota mereka. Menurut saya malah jadi bagus kan?
Saya pribadi tidak ikutan menyebarluaskan aneka meme or video Bekasi. Setidaknya, di medsos. Saya hanya memasangnya di dp BBM saya dan langsung mendapat tanggapan teman-teman. Beberapa di antaranya, warga Bekasi. Yang bukan orang bekasi tentu menanggapi dengan tertawa terbahak-bahak. Nah, warga bekasinya ada yang bilang. Asem lo. Kurang ajaaar. Dan sebagainya. Sekedar menanggapinya dengan candaan.
Ada juga yang lantas membuat status mengenai keindahan kota Bekasi lengkap dengan hashtag #akucintabekasi.
Buat saya, itu bagus, bukan?
Ini jadi ajang sendiri buat Bekasi unjuk gigi. Tunjukkan apa yang istimewa dari Bekasi.
Bekasi dibicarakan dimana-mana. Bekasi dibahas di TV. Bekasi jadi populer. Tanah di Bekasi harganya meningkat.
Thus, I think, something we must see in a positive way.
Ga usahlah tersinggung apalagi marah-marah pake bahasa hutan tidak jelas.
Bekasi jika diibaratkan sebuah movie, adalah distrik 12 di the Hunger Games. Jakarta adalah sang Capitol (panem). Bogor Depok Tangerang Bekasi adalah distrik-distrik. Semuanya memiliki arti masing-masing bagi Capitol. Bogor dengan hasil pertanian dan peternakan. Depok dengan hasil sandang. Tangerang penyumbang SDM terbesar. Dan Bekasi, dengan hasil industrinya.
Memang, Bekasi adalah distrik 12 yang tidak begitu populer di antara yang lainnya. Hanya dipandang sebelah mata. Namun sang mockingjay, Katnis Everdeen, yang mengobarkan api pemberontakan terhadap Capitol (untuk memerdekakan distrik-distrik dari jajahannya), berasal dari Distrik nomor dua belas. Don't need to be popular to make some change, right? Cayoo Bekasi!

Selamat Jalan Anakku


Rabu, 3 September 2014, 02.00 WIB
Saya harus merelakan janin saya dikeluarkan paksa dari rahimku. Saya sudah menelan obat peluruh yang diresepkan dokter kandungan-yang sudah memvonis bahwa janin saya-dari kehamilan keduaku-telah dipastikan mati sejak usianya 7 minggu.
Innalillahi wainnailaihi rojiun.
Saya yang saat itu mendatangi sang dokter sendiri (ya, suami masih bekerja di luar kota dan ibu sedang menjemput anakku baru kemudian ke rumah sakit) sebetulnya sangat terpukul. Tetapi saya tidak membiarkan diri lepas kontrol dan menangis di hadapan dua orang (dokter dan asistennya) yang tidak begitu saya kenal. Saya hanya berkata, “lalu bagaimana sekarang? Apa yang harus saya lakukan?”.
Pertanyaan bodoh sebenarnya, karena sudah jelas, janin kecil itu harus segera dikeluarkan, baik dengan peluruh maupun dengan kuretase.
Jangan menangis, jangan menangis.
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk meminum dulu obat peluruh, saya pun keluar dari ruang praktek dokter-yang berdasar rekomendasi teman yang bidan-adalah seorang ahli fetomaterna-ahli kesuburan-yang membuat saya yakin, ia tak akan sembarangan mengeluarkan janin dari dalam rahim seorang ibu…..
Saya bertemu ibu di lobi rumah sakit. Saya berkata datar “Semua baik-baik saja. Hanya saja janin saya tidak tumbuh dan harus dikeluarkan”- pada ibu. Ibu terpukul, tentu. Ia sungguh mendambakan seorang cucu lagi untuk meramaikan rumahnya yang selama ini begitu sepi (ya, saya dan anak pertama baru saja pindah ke kota ini sekitar tiga minggu lalu. Saya sudah enam tahun merantau dan jauh dari ayah ibu). Saya sudah merasa tidak memiliki energi lagi. Saya biarkan anak bersama ibu. Anak saya pun sekalian berobat di rumah sakit yang sama karena batuknya yang tak kunjung sembuh.


Setelah semuanya selesai, kami bertiga pulang. Ibu yang menyetir. Kondisi saya both physically dan mentally tidak memungkinkan saya untuk menyetir sendiri. Saya memang perdana berangkat menyetir sendiri tadi pagi, dan itu membuat teman-teman gusar ketika mereka tahu saya flek pada sore harinya. “Sudah tahu hamil malah bawa mobil sendiri sejauh ini”. Ya, rumah saya memang lumayan jauh dari kantor.
Dan pecahlah tangis yang sedari tadi saya tahan begitu berada di mobil selama perjalanan pulang. Gadis kecilku pun terheran-heran melihat ibunya menangis. Saya menghujani ia dengan ciuman seraya meminta maaf, “Maaf ya nak, belum bisa main sama ade bayi”. Saya terus menangis sesenggukan. Saya tidur dengan mata basah dan terbangun dengan mata yang bengkak.
Tibalah esok hari. Saya sudah meliburkan diri dari kantor. Saya pun masih dihinggapi dilema, apakah saya akan meminum obat peluruh atau tidak. Apakah saya coba bertemu dengan dokter lain di rumah sakit lain? Siapa tahu hasilnya akan berbeda. Meskipun jauh di dalam lubuk hati saya merasa hal tersebut nyaris percuma. Karena dari awal kehamilan, saya telah berkonsultasi dengan empat dokter yang berbeda. Dokter pertama, dokter Sapto di RS Mulya Tangerang. Dokter kedua dokter Ade Permana juga di RS Mulya. Ketiga dengan dokter Andhri di RS BMC Padang. Terakhir, dengan dokter Dovy, juga di RS BMC. Adapun dokter yang hendak kukunjungi yaitu dokter Ermawati (RSIA Siti Hawa) dan dokter Ananto (RS Yos Sudarso).
Namun saya mengurungkan niat tersebut. Tidak mungkin empat dokter obsgyn bisa salah. Dari dokter pertama saya sudah merasa janggal. Bagaimana seorang dokter kandungan tidak memberi selamat atas kehamilan pasiennya? Dan mengapa ia menjadwalkan saya untuk bertemu dalam waktu dua minggu? Padahal normalnya usia kehamilan 1 – 7 bulan, frekuensi pertemuan dengan dokter kandungan hanya satu kali dalam sebulan. Sang dokter memberi alasan, janin belum terlihat.
Dokter kedua pun sama. Ia mengatakan janin masih terlihat samar. Ia malah mengatakan waspada akan Blighted Ovum (BO). Saya masih berharap dan terus berharap jangan sampai ini terjadi pada saya. Setelah bertemu dengan dokter kedua ini, saya pun membrowsing informasi tentang BO dan mulai menangis semalaman. Firasatku sudah tidak enak. Suamiku menenangkanku dan mengatakan saya lebih baik berdoa dan menjaga makanku.
Dokter ketiga. Saya sudah pindah ke kota asal saya, Padang. Dokter ini pun berkata bahwa janinku kecil sekali. Ya, sudah terlihat jelas cahaya putih terang (yang merupakan sang janin), memang. Akan tetapi ukurannya sangat sangat kecil. Saya menarik nafas dan mulai menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk… Tidak, Tuhan. Tidak di saat saya sedang berjauhan dengan suamiku.
Dan vonis kuretase pun terlontar dari dokter ke empat. Karena memang sudah tidak ada harapan. Dari hasil USG terlihat cahaya putih di kantung rahimku tidak bertumbuh besar dan hanya diam di satu bagian saja. Tidak bergerak. Tidak berdenyut. Saya pun terbata dan menanyakan apa tidak ada kemungkinan diberi obat penguat, Saya tahu pertanyaan itu sia-sia karena memang firasat seorang Ibu, yang sedari awal memang sudah merasakan there’s something wrong with my pregnancy
Saya jabarkan disini:
  1. Saat saya melakukan tes kehamilan sendiri, waktu itu bulan puasa, saya nyaris telah berpuasa sebulan penuh, dan tentu saya bertanya-tanya why I don’t get my period yet dan terus merasa pusing dan mual, bahkan pingsan sebanyak dua kali (di pasar dan di ATM!). Saya kaget. Seingat saya, pembuahan terakhir kami adalah dua hari sebelum saya mendapat menstruasiku yang terakhir.
  2. Saya berasumsi, bahwa pembuahan yang terjadi sebelum saya mendapat menstruasiku yang terakhir (pada 16 Juni), sperma bertemu dengan sel telur yang kondisinya sudah tidak bagus (karena akan segera luruh menjadi darah menstruasi).
  3. Hasil testpack menyatakan positif, memang. Karena dari pembuahan tersebut terbentuk kantung rahim dan terdeteksilah hormon kehamilan (GCG). Alat testpack hanya dapat mengidentifikasi hormon GCG tersebut walau tidak ada embrio/janin yang terbentuk. Dan ya, saya positif dua garis. Garisnya tajam dan jelas. Berbeda dengan kehamilan yang pertama. Garisnya samar-samar. Namun ketika saya mengunjungi dokter Rohati (RS Hermina Ciputat), saya langsung diberi ucapan selamat. Karena Alhamdulillah, janinnya langsung terlihat dan langsung terdeteksi detak jantungnya meskipun usianya baru 5 minggu kala itu.
  4. Menurut hasil browsingku, selama tidak terjadi flek/pendarahan dalam masa kehamilan, kemungkinan BO dapat disingkirkan. Karena tanda awal BO yaitu dengan adanya flek/pendarahan. Ditambah lagi kata temanku, BO tidak akan merasakan mual dan muntah. Sedangkan saya, mual dan muntah hebat.
  5. Saya tidak BO. BO tidak memiliki embrio di dalam kantung rahimnya. Kantung rahimku memiliki embrio. Hanya saja ia tidak lagi berkembang di usia 7 minggu. Hal ini tidak terjadi karena: kelelahan, terjatuh, tidak memperhatikan asupan makanan. Tidak. Karena memang ini dinamakan seleksi alam. Embrio yang terbentuk dari sel yang sudah rusak, tentu akan terseleksi oleh alam dan dengan sendirinya akan berhenti pertumbuhannya. Universe conspire agar hanya janin-janin yang sehat yang dapat terus bertumbuh karena bila tidak, akan ada banyak bayi yang terlahir dalam kondisi cacat which is…bad. Dan kita sebagai manusia hanya dapat menerima ketentuan Tuhan ini dengan lapang dada. That’s for sure for our own good
  6. Saya jarang sekali berinteraksi dengan janinku ini. Mungkin karena saya terlalu takut. Takut bahwa ketakutanku akan menjadi nyata. Dan ya, dalam kesempatan saya mengajaknya berinteraksi pun, seolah tidak ada respon darinya. Karena embrioku, memang sudah tidak lagi hidup…. Pada kehamilan pertama saya sangat rajin mengajak si jabang bayi berkomunikasi dan ia membalasnya lewat desiran dan getaran halus dari tempatnya berada, dan ketika ia tumbuh lebih besar ia akan membalas sapaanku dengan tendangan kaki mungilnya
  7. Hindarkan jauh-jauh perasaan bersalah. Akan ada banyak pertanyaan dan cerita nantinya dari orang-orang sekeliling anda. Apa anda makan dengan baik? Apa anda mengkonsumsi sesuatu yang bersifat ‘panas’ (misal: nenas dan durian) dan membuat bayi anda luruh? Apa anda telah mencoba ke dokter anu dokter itu? Karena mereka pun mengalami hal yang sama, divonis janin tak berkembang lalu disuruh dikuret, lalu mereka menolaknya, dan ternyata ketika dibawa ke dokter anu janinnya baik-baik saja.
Ingat, lain orang lain keadannya. Saya pun sempat terpukul dan bertanya-tanya apakah keputusan saya dikuret sudah benar? Apa saya tidak sengaja telah membunuh bayi saya yang ternyata sehat-sehat saja?
Nope, hindarkan berpikir demikian. Ibu yang paling tahu dan paling kenal dengn janinnya. Jika ada sesuatu yang tidak beres, nurani ibu akan merasakannya. Saya melihat sendiri dari USG pertama bahwa ya, janin saya memang tidak berkembang seperti seharusnya. Yang penting ibu telah berusaha semaksimal mungkin dalam mempertahankan si janin dan terus berharap everything is fine Selebihnya, serahkan pada Tuhan.
  1. Teruslah berusaha berusaha dan berikhtiar
Semoga berhasil semua. Semoga keluarga kita selalu di dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.

Sepenggal Kisah Perantauan dan Nostalgia Cinta




Tepat enam tahun yang lalu, kuputuskan pergi meninggalkan rumah orangtuaku. Bukan, bukannya aku kabur seperti mahasiswa sekarang-yang bila tak dituruti maunya-ia akan kabur naik pesawat ke Bandung- bukan seperti itu.
Aku hendak merantau.
Tak tahulah mengapa tiba-tiba kuputuskan begitu. Aku yang menangis rindu sepanjang malam ketika KKN selama sebulan di sebuah pabrik obat di kawasan Cibitung? Ha! Temanku saja kesal melihatku menangis sepanjang malam. Aku bahkan minta ditemani nenekku kala itu selama dua pekan-dari jangka waktu satu bulan. Hahaha.
Manja ya?
Lantas mengapa tiba-tiba merantau?
Panggilan jiwa. Ditambah waktu itu ada kesempatan yang datang, jadi kuputuskan untuk mencobanya. Toh disana aku akan tinggal bersama om dan tanteku. Jadi aku tidak akan lepas dari pengawasan ayah ibuku (bukankah memang sepatutnya anak dalam pengawasan orangtua sebelum ia menikah?).
Bukan berarti aku kemana-mana diantar om dan tante. Mereka hanya sebatas menyediakan tempat tinggal (dan makan tentu haha). Mengenai pekerjaan, pulang pergi kantor, dsb – tentu adalah urusanku sendiri. Tidak ada istilah bermanja-manja di dalam kamus seorang perantauan.
Mendaratlah aku di kota ini. Kota yang sepertinya hidup sepanjang hari. Seminggu awal aku masih bersantai-santai. Hanya satu dua kali pergi interview. Selebihnya aku menjajal kota Jakarta seorang diri. Ya, sendiri. Teman angkatanku (baca: kroco-krocoku) masih banyak yang masih dalam proses skripsi jadilah aku berpetualang sendiri.
Seru!
Kesana kemari dengan kopaja (haha aku kala itu belum mengerti busway!). Aku ingat kata-kata tanteku, kemana pun kamu pergi (baca: kalo nyasar), cari saja kopaja atau bus kearah blok M. Dari seantero Jakarta (mau pulogadung, rambutan, kampung melayu, senen, sudirman, kuningan, senayan-sebut saja semua) PASTI-lah ada yang jurusan Blok M. Dan dari Blok M, aku sudah tahu pasti jalan pulang, kopaja 69 Blok M- Ciledug. Hohoho.
Aku sangat menikmati minggu pertamaku di sana. Mengitari mall, menonton bioskop, kuliner, aku lakoni sendiri. Pikirku, nikmat juga Jakarta bila tak usah bekerja ya. Bisa kemana-mana tanpa mengeluh macet dan ramai. Saat itu juga aku bermimpi mau jadi pengusaha saja di Jakarta (tapi kan baru mimpi saja. Kenyataannya aku ya jadi pegawai juga).
Memasuki minggu kedua, aku mulai jenuh. Aku mulai bosan kemana-mana sendiri. Dan mulai khawatir bagaimana jika tidak mendapat pekerjaan disini. Apa aku mau balik ke kampung-semudah itu? Oh tidak.
Penantianku terjawab pada keesokan hari. Aku dinyatakan diterima di suatu badan outsourcing (demi Tuhan waktu itu aku belum mengerti sistemnya jadi ya aku nurut-nurut saja hahaha) untuk ditempatkan di Citifinancial, anak perusahaan Citibank-yang terletak di kawasan Pondok Indah.
Cakep, pikirku. Aku bakal bekerja di bank besar. Di Pondok Indah, pula.
Aku sangat excited.
Lingkungan kerja nyaman (kami banyak tertawa disana), banyak teman-teman seumuran, makanan enak, pakaian bebas (kau boleh bergaya dan bermake up semaumu asal rapi). Apa yang kurang? Pekerjaannya tak sesuai yang kuharapkan. Aku ditugaskan sebagai desk collector – alias tukang tagih via telfon yang menghubungi nasabah Kredit Tanpa Agunan (KTA). Yawn. Kupikir aku akan berhadapan langsung dengan nasabah. Ternyata hanya via telfon dan itu pun hanya menagih saja. Menagih saja itu kan katamu. Jangan ditanya banyak daftar nasabahnya. Dan jumlah pinjamannya. Wohooo. Jakarta memang tempatnya uang berputar, heh? Tak heran kami digaji cukup besar untuk pekerjaan kami. Tapi tetap saja, aku jenuh mengerjakan hal yang sama setiap hari. Ditambah lagi, jam kerja kami disni sistem shift. Tidak 24 jam memang, paling malam pulang jam 9. Tapi tetap saja, jika kebagian pulang jam 9 bisa dibayangkan seramnya aku (yang waktu itu masih ngangkot) menunggu bus Mayasari Rambutan-Ciledug (AC 73 hahaha gw masih hapal aja) untuk pulang ke rumah om tanteku di daerah Kreo (Cipadu). Mana bus itu lewatnya hanya 30 menit sekali dan bila malam bisa-bisa 1 jam sekali! Syukurnya berteman, aku mendapat alternative jalan pulang. Ke Blok M dulu saja naik kopaja 62 Blok M - Lebak Bulus dan semua masalah akan terpecahkan haha. Bisa juga naik angkot D14 dari Lebak Bulus langsung ke Ciledug. Namun horornya terminal di malam hari membuatku enggan kesana bila tak ada teman.
Menyedihkan sekali hidupku ya? Perempuan kota kecil njomblo pulang sendirian di malam hari. Lebay sih sebenarnya, ada juga kok teman perempuan yang sama-sama pulang semalam itu-hanya saja tak searah. Ada roza, diah, heksa-beberapa dari teman-teman perempuan yang kuingat pernah pulang bersama-sama. Kami tidak dalam satu tim dan jam kerja kami juga kadang tak samaan, jadi kami tak bisa pulang bersama-sama setiap hari.
Hingga aku bertemu dia.
Iya, dia.
Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit hitam dengan deretan giginya yang rapi dan selalu tersenyum dan suaranya…seksi… Ia mengenakan sepatu hitam di Senin-Kamis dan converse khaki di hari Jumat (dan Sabtu Minggu bila ia dijadwalkan mendapat shift).
Hahahaha. Itu kan gambaran ketika aku sudah jatuh hati padanya! Sebelum aku jatuh hati padanya tolong dibaca sampai kata kulit hitam saja, tambahan, jerawatan! Wkwkwk.
Hadie Bandarian Syah. Tinggal di Cipondoh (baca: melewati Ciledug).
Adalah nasihat seorang teman bernama Benk-benk (padahal mah namanya Bambang! Haha) untu men-take Hadie sebagai partner pulang (baca: pemberi tebengan). Sebenarnya si Benk-benk inilah yang paling dekat rumahnya denganku, sama-sama di Kreo. Hanya saja ia telah ditake seorang gadis turunan Tionghoa yang cantik jelita-yang diantarnya pulang setiap hari ke daerah Kalibata baca: pacaran). Jadi si Bambang ini menyuruhku untuk pulang bareng Adi (Bintaro) atau Hadie (Cipondoh).
Daaan… aku pun pertama menanyakan kepada Adi Bintaro – yang sudah pernah satu dua kali kusapa. Ternyata jawabannya tidak memuaskan. Menolak karena katanya dari Bintaro pun cukup ribet naik angkotnya dan jam 9 malam dipastikan sudah tidak ada angkot. Mungkin ia enggan memikirkan harus mengantarku malam-malam ke Cipadu kemudian balik lagi ke Bintaro.
Ya sudahlah. Tak mengapa. Toh hanya bertanya saja. Itu pun hanya dlam kondisi pulang jam 9 malam saja. Bila pulang jam 2 siang atau jam 5 sore mah, aku tidak perlu menebeng siapa-siapa.
Kucoba peruntunganku dengan Hadie Cipondoh. Dan jawabannyaaa… eng ing eeeng. Tetap ditolak. Hahaha. Apa muka gw sejelek itu ya? Perasaan engga. Wkwkwk. Tap coba kita lihat dulu alasan si Hadie ini menolakku.
Oh, rupanya ia sudah di take duluan oleh kak Dian-perempuan kecil mungil, cantik dan jomblo- yang tinggal di Bintaro. Hadie pun memberi isyarat aku boleh menumpang bila saja kak Dian tidak minta nebeng duluan pada hari-hari berikutnya. Oh, tentu saja. Bila Kak Dian tak menumpang baru aku boleh menumpang. Second tebengan. Tak apalah… Yang penting aman sentausa hingga tujuan. Haha. Hopeless sekali aku kala itu ya? Aku bahkan meminta orangtuaku membelikanku mobil sederhana-sehingga aku tidak perlu ngemis-ngemis minta tebengan seperti ini. Kesal rasanya harus bergantung pada orang.
Orang?
Iya, orang. Yang akan menjadi suamiku dalam dua tahun ke depan, ternyata.
Status tebengan nomer dua-tidak berlaku lama untukku. Aku yang supel dan Hadie yang humble (apalah bedanya supel dan humble?) membuat kami nyambung ngobrol sepanjang malam-malam tebenganku. Aku pun lantas menjadi tebengan nomor satu-dan satu-satunya Hadie. Hahaha.
Kami semakin dekat. Kami bahkan bicara soal suka-sukaan. Hadie menyukai Benita. Aku menyukai Yatno. Tapi entah mengapa lambat laun kami mulai enggan membicarakan orang yang (kami rasa saat itu) kami suka. Kami lebih menyukai bicara tentang diri kami masing-masing. Tentang kesukaan kami. Tentang keluarga.
Dan pada malam Hadie datang ke rumah tanteku mengajakku makan martabak mesir bersama, aku langsung tahu pada saat itu, kami sudah saling jatuh cinta. Sayangnya, hari itu sudah lewat jam 9 malam. 9 lewat 15 tepatnya. Dan om dan tanteku saat itu sedang dalam formasi lengkap (ada om Dede dan tante Vivi juga), mereka belum begitu mengenal Hadie, kondisinya, tak mungkin aku meninggalkan rumah. Aku sangat merasa menyesal pada Hadie yang sudah sengaja datang (ya, ia sudah pulang dulu ke rumah baru mengajakku makan). Momen tak terlupakan. Yang membuat hari-hari kami ke depan semakin saling terikat satu sama lain. Tapi kami masih canggung dan belum mengakuinya. Mulanya hanya tumpangan pulang saat shift malam. Berlanjut tumpangan shift pagi dan sore. Lalu berlanjut berangkat pagi bersama. Ehemm.
Hadie bolos kerja, aku juga bolos kerja. Hadie terlambat, sudah bisa dipastikan aku juga (karena aku tak akan mau pergi bekerja tanpa Hadie. Aku tak mau capek-capek naik angkot hahaha). Hadie pun mulai berada dimana aku berada. Di gathering tim-ku, ada Hadie. Aku masih ingat benar kala itu ke Ragunan dan aku merasa pusing lalu Hadie menggandeng tanganku lalu mengantar pulang. Aku lupa, saat itu benar-benar pusing apa hanya mencari-cari perhatian Hadie ya? Ahahaha.
Kami berdua sudah semakin canggung dengan kedekatan tanpa status kami saat itu. Saat aku berulang tahun, hadie mulai memberanikan diri pamer kedekatan denganku. Ia menghampiri bucketku di saat semu orang memperhatikan, lalu mengucapkan selamat ulang tahun. Hahaha. Pada awalnya aku kecewa ia tidak mengucapkan sepatah kata apapun di pagi hari berangkat bersama. Tapi ia sudah sms sih. Ia yang paling pertama member selamat lewat sms. Tapi ia tak emnelpon. Pun diam saja dalam perjalanan kantor. Sontak ketika ia mengucapkan selamat di hadapan semua rekan kerjaku, seolah ia berkata “she is mine (atau my target? Haha bleguk)”. Ah, itu hal yang tak akan aku lupakan dari Hadie seumur hidup. Pun ketika ia bercanda sambil lalu ketika ada yang menanyakan apa kami hanya berteman? Ia menjawab, “Ya. Teman hidup”. Wahhh, belum ada yang pernah seberani itu padaku sebelumnya. Bercanda seperti itu padahal menembak saja belum.
Singkat cerita, pada akhirnya, saat aku memutuskan untuk mencari pekerjaan baru yang lebih masuk akal jam kerjanya. Bukan berarti aku tak suka kerja di CF. Bukan. Aku ingin kondisi kerja yang lebih baik lagi. Dari sana aku tahu, Hadie selalu mendukungku. Ia mendukungku untuk menjadi lebih baik. Status kami masih berteman saat itu. Aku ijin sehari untuk mengikuti tes masuk suatu Bank Syariah. Dan ia mengatakan betapa kantor sepi tanpaku dan menanyakan jam berapa aku pulang tes. Ia menawarkan menjemputku di Gedung Patra Cawang. Namun karena aku kasihan, terlalu jauh, aku mengatakan lebih baik ia menunggu di Blok M saja.
Dan ya, itulah dia hari terbesar kami. 2 Februari 2009. Kami pun mengikatkan diri menjadi sepasang kekasih. Beranjut pada April 2009, Hadie pun menemui orangtuaku-pertanda keseriusannya denganku. Bukaan bukan melamar! Berkenalan saja. Aku kagum padanya. Baru mengenalku beberapa bulan dan ia tidak takut menemui orangtuaku. Aku tahu mulai saat itu, apapun yang terjadi, kemanapun nasib membawa kami, seberat apapun godaan dan ujian yang membentang di hadapan kami, aku tahu, aku adalah miliknya sejak saat itu. Aku hanya akan menginginkan dia. Entahlah apa ia merasa begitu. Ia bukan tipikal yang banyak berkata-kata. Jika serius ya temui sja orangtuanya. Jika sayang padanya ya dampingi ia mencapai cita-cotanya- bahkan bila itu berarti aku harus mengorbankan waktuku. Seperti itulah kira-kira yanga da di benak Hadie. Sedikit gombal. Banyak bukti. Yang membuatku yakin, semiring apapun orang menanggapi kami, kami akan maju terus bersama-sama yes, I can’t live without him!
Nah, itu tadi sedikit tentang Hadie (what? Sedikit? Haghag). Lanjut pada perantauanku. Hari-hariku tak lagi sendiri kini Aku pun lanjut dengan cita-citaku. Bekerja di bank swasta syariah. Pertama aku ditempatkan di daerah BSD. Aku menangis karena tidak lagi menghabiskan jam kerja bersama Hadie. Quality time kami terpangkas. Aku kangen dia. Ia pun member kejutan dengan menjemputku suatu kali (tidak setiap hari). Aku langsung menghambur ke pelukannya dan terisak-isak. Aku tidak mau tidak bersama-sama dia.
Di bank syariah Aku menemukan ketenangan hidup. Ketenangan bekerja. Ketenangan jam kerja juga termasuk. Namun tidak dengan ketenangan kantong haha. Gajinya ternyata tak sesuai. Aku pun rajin ikut tes sana sini. Begitu pun Hadie. Hingga akhirnya pelabuhanku berikutnya, sebuah perusahaan BUMN. Sebagai karyawan tetap. Bukan lagi outsourcing.
Aku telah mencapainya. Dan aku tidak akan mencapainya tanpa Hadie. Dan ternyata pencapaianku itu malah membuatku semakin jauh dengan Hadie-ku. Aku hanya memiliki sedikit waktu untuknya. Itu pun sering kami habiskan dengan bertengkar. Aku tak habis pikir. Padahal BUMN ini memberiku segalanya (baca: jika segalanya yang kau maksud adalah uang).
Aku kembali memikirkan apa tujuan aku merantau. Mencari pekerjaan? Membuatku mandiri? Membuatku jadi wanita tangguh?
Ya, aku sudah mendapat semuanya.
Kini salahkah bila aku ingin kembali? Kembali mendapatkan waktuku bersama Hadie, bersama anak kami? Aku tidak ingin menyesal nanti. 5 tahun sudah kuhabiskan dengan berjuang bertempur darah dan air mata. Aku rasa sudah cukup dengan dunia. Aku ingin memfokuskan diri. Aku ingin berhenti. Membangun quality time yang tanpa batas dengan Hadie ku, dan nona Hadie kecilku. Perantauan itu adalah menempa diri. Dan sekarang kuputuskan untuk menempa diri sekali lagi. Aku sudah cukup lama berada di zona nyaman-menerima gaji dan bonus tanpa perlu susah –suah mengasah otak dan kemampuan. Kurasa sudah cukup yang kupunya untuk dunia. Aku ingin bebas merdeka. Aku sudah melewati segalanya. Sekarang aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia.


Rindu Rumah Kecilku


Disinilah aku. Bangun di kasur ukuran king dengan bedcover yang nyaman setiap pagi. Sarapan telah tersedia. Tetek bengek anakku telah tersusun rapi oleh ibu di depan televisi.
Tapi apa yang aku rasa? Hampa.
Aku lebih menyukai kebersamaan kami sendiri di rumah mungil ukuran 46/73. Kehebohan yang kami hadirkan setiap pagi. Cepat sana cepat sini. Siapa yang mandi duluan siapa yang bikin sarapan. Hayu gantian pegangin dan suapin Alika sebelum mbah yang momongnya datang. Kehangatan tiap pagi yang kini kurindukan. Kemudian diantar suami ke kantor dengan sepeda motor.
Disini aku diantar oleh ibu dengan mobil mungilnya atau oleh ayah dengan mobil pick up ala countrynya yang berharga. Manja? Iya. Kondisiku yang beranak satu dan dalam masa pemulihan membuatku sangat bergantung pada orangtuaku. Aku sih bersedia saja berangkat menggunakan trans setiap pagi-jika saja setiap di angkutan itu aku tidak melulu melelehkan airmata-walaupun aku berpura-pura tidur-dan membuat semua orang menoleh ke arahku.
Aku merindukan suamiku.
Melebihi kemewahan dan kemudahan apapun yang aku dapatkan disini. Aku merindukan suamiku.
Suaranya. Candanya yang ditingkahi gelak tawa anak kami. Baunya sepulang bekerja. Pelukannya. Pertanyaan menyebalkannya setiap pagi yang selalu sama “Dimana slayerku? Dimana kaus kakiku?” – ya dia selalu lupa dimana ia meletakkan perintilan wajibnya itu.
Ah ya. Lelaki asing yang baru kukenal sekitar enam tahun yang lalu itu entah bagaimana telah membuat kehadirannya sama seperti darah yang mengalir di nadiku. Begitu dekat. Begitu melekat. Yang tanpanya hidupku tak akan sempurna.
Aku baru saja melihat-lihat foto-foto kami. Kucel, iya. Kami sama-sama terpanggang matahari, Sama sekali tak terawat. Kami hampir-hampir tidak punya waktu memperhatikan penampilan kami-yang suka diprotes oleh orangtuaku amupun orangtuanya. Habis mau bagaimana, kami sama-sama sibuk bekerja. Sepulang bekerja kami kelelahan dan tak sempat melakukan treatment apa-apa. Weekend pun sudah dihabiskan dengan rencana demi rencana.
Ah, akupun berniat pindah ke kota kecil yang tak sehingar bingar tempat kami berada saat ini. Aku pun pindah lebih dulu bersama putri kecil kami. Ia menyusul nanti. Akhir tahun, katanya. Kemudian ia majukan menjadi akhir Oktober. Dan tadi pagi ia kembali mengirimkan pesan singkat bagaimana jika ia berhenti bekerja sekarang juga dan pindah kemari? Hahaha.
Rupanya ia pun merindukan keluarga kecilnya.
Pada anaknya, tentu. Padaku, entahlah. Hahaha (ga mau geer dong. Habisan suami bukan tipe yang suka sms trus bilang kangen, cinta, dan semacamnya. Tapi mendadak udah resign aja trus datang kesini deh hehe).
Tiada hari tanpa menangis.
Ia partner berdebatku. Tempat curhat paling paten yang kupunya. Semua masalah, apabila mendengarkan dia, akan terasa mudah. Ia tidak romantis, tidak. Yang romantis justru aku-yang meninggalkan ia di rumah dengan surat plus cap bibir aku dan anaknya dan mengatakan berbagai hal yang katanya membuatnya menangis tersedu-sedu (ah memang dasar begini nih kalau punya istri penulis hahaha). Padahal surat itu Cuma berisi pesan-pesan “jangan lupa ini jangan lupa itu” dan “we love u ipi. Cepet nyusul ya. Kalau kangen ama kita itu di belakang pintu ada baju bau acem kita hehehe”. Gitu doang bikin nangis ya emang? Wkwk.
Ah, di satu sisi aku memang mendapatkan ketenangan. Aku jauh lebih rileks disini. Jauh lebih bisa beristirahat dan memperhatikan diriku. Aku bersyukur. Aku pun bisa bersama-sama orangtuaku yang sudah enam tahun kutinggal pergi merantau. Dan kunikahi pula orang perantauan sana. Hahaha. Semakin kecil peluangku untuk kembali ke pangkuan mereka. Tapi tidak. Suamiku mencintai keluargaku sama besarnya denganku. Ia sama sekali tidak melarang aku ingin kembali ke tanah kelahiranku. Ia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya pun orangtuanya disana dan menyusul kami kemari (dan aku masih merasa suamiku harus harus harus romatisss?? Hahaha. Penuntut sekali jika begitu!).
Aku tidak sabar menanti Oktober yang dijanjikannya. Aku bermimpi akan kembali menjadi partner bekerjanya seperti saat pertama kami bertemu. Kami sekantor. Berangkat dan pulang bersama. Dhuha dzuhur ashar bersama. Makan siang bersama. Makan malam juga hampir dipastikan selalu bersama. Tergantung tanggal berapa. Kalau tanggal muda pastilah ke resto ternama. Kalau tanggal tua ya tinggal mampir kalau tidak ke rumah tanteku ya ke rumah opanya suamiku. Hahaha.
Ah, tidak ada pekerjaan yang lebih kusukai daripada saat ketika sekantor bersama suamiku (masih calon ketika itu). Aku bisa bekerja dan melihat wajahnya sepanjang hari – baik dirumah maupun di kantor. Ahahahaha. Dia sendiri akan bosan tidak ya? Seingatku aku tidak pernah mengeluh bekerja ketika itu. Walaupun jam kerja kami sangat luarrr biasa (karena slogannya perusahannya sendiri “Tak Pernah Tidur” hahaha). Tapi ajaib. How life become easier and funner while he is around! And I can’t wait for those time to come

If Somebody Loves You


If somebody loves you…
Ia mencoba memahami selera musikmu. Meski cenderung so pop and disney girl abis (Demi, Miley, Selena, Hilary, and so on), namun ia dengan senang hati mendengar lagu-lagu itu walau dalam hatinya – ia yang penggemar Metallica (mungkin) menangis. Hahaha.
If somebody loves you…
Ia akan mengantarmu ke bioskop untuk menonton kisah cinta ala vampire favoritmu. Ia akan tertidur, tentu. Tak usah kesal, yang penting ia sudah menemanimu dan meminjamkan jaketnya agar kau tak kedinginan, bukan?
If somebody loves you…
Ia akan mengatakan suaramu enak didengar meskipun tak ada seorang pun yang setuju dengannya hahaha.
If somebody loves you…
He will let you jump higher and higher. Walaupun itu berarti kau akan melompat lebih tinggi darinya, ia akan menjadi your personal net, yang memungkinkanmu untuk melompat lebih tinggi lagi.
If somebody loves you…
Believe it or not, ia akan selalu ada. Sound cliche? Iya. Tapi itu nyata. Ia akan bersedia mengantar dan menjemputmu selalu. Ia akan segera datang begitu kau berkata baru saja ditabrak oleh mobil TNI (padahal cuma penyok sedikit sih, tapi berhubung kamu shock karena yang nabrak semacam Jendral TNI, jadi kamu nelfon dia dan nangis sesenggukan minta dijemput). Padahal jaraknya dari Pamulang ke Senayan. Dan ia datang dalam 30 menit menggunakan motor bebeknya, padahal menurut perkiraanmu ia akan datang dalam waktu 1 jam mengingat padatnya jalanan di jam pulang. Bayangkan betapa ngebutnya ia-agar bisa datang secepat mungkin ke tempatmu berada, dan begitu tiba ia langsung memelukmu dan bertanya apa kamu tak apa-apa? Tak cukup itu saja, ia bahkan rela meninggalkan sepeda motornya di Senayan, menyupirimu hingga ke rumah, lalu kembali lagi ke Senayan dengan tukang ojek untuk mengambil motornya.
Belum cukup di saat emergency seperti itu, ia pun rela mengantarmu ke kantor, setiap pagi, walaupun itu berarti ia harus memutar jauh dan berpeluang untuk telat datang ke kantornya. Bayangkan, saya di Cirendeu, ia berkantor di BSD, saya di Kelapa Gading, ia berkantor di Pamulang dan Senayan. Saya di Cakung, ia berkantor di Pluit. Saya di Serpong, ia (masih) di Pluit. Coba lihat peta. Tidak ada dari satu daerah itu yang berdekatan. Namun ia selalu setia mengantarkan saya setiap pagi. Paling tidak ia mengantar hingga saya naik bus di Kebun Jeruk di hari kerja. Dan Sabtu, sudah pasti mengantar hingga ke kantor dan malahan menunggu hingga saya pulang pukul 12 siang! Entah ia menunggu di masjid, di mall, di barber shop, yang jelas, ia rela menunggu saya selama 4-5 jam.
If somebody loves you…
Ia akan berbaik-baik pada semua keluargamu. Ayah dan ibu sudah jelas. Namun ia juga dekat dengan om dan tantemu yang suka mengajaknya mengobrol hingga larut, adik-adik sepupumu yang manja, saudara-saudaramu yang selalu ingin tahu – semuanya – ia baik kepada semuanya. Ia akan mengantarkan sepupu-sepupu cilikmu sekolah (meski tak tiap hari) dan ke mall jika mereka ribut mau membeli mainan baru dan ayah mereka tak bisa mengantar. Ia santai saja tidur di ruang keluarga rumah tantemu (waktu itu saya menumpang tinggal dengan tante, karena orangtua masih bekerja di kampong halaman). Ia membaur dengan keluargamu – bahkan sebelum kalian meresmikan hubungan dengan lamaran dan pernikahan.
If somebody loves you…
Ia akan menjadikan teman-teman baikmu sebagai teman baiknya juga. Ia akan senang hati mewakilimu untuk datang ke pesta pernikahan sahabatmu sendirian (kondisimu tak bisa datang karena sakit).
If somebody loves you…
Ia akan meminta bertemu dengan orangtuamu (tanpa kau suruh) padahal kamu dan dia baru dekat selama dua bulan. So sweet? Iyalah. Apalagi jika ternyata menemui orangtuamu berarti harus menyeberangi pulau, ia akan melakukannya. Sekali lagi, tanpa kau minta.
If somebody loves you…
Ia akan tahu apa maumu tanpa perlu kau sebutkan. Ia akan menjelma menjadi orang yang paling tahu dirimu – bahkan melebihi orangtuamu mengenalmu.
If somebody loves you…
Ia akan bisa menemukanmu di sebuah mall walau hpmu off – kehabisan baterai. Magic!
If somebody loves you…
Ia akan dapat memaafkanmu. Seberat apapun kesalahan yang kau buat. Seberapa sering pun kau mengulangi kesalahanmu, ia akan memaafkanmu, selalu (tapi ya jangan habit yaa, bikin salah cukup sekali. Apalagi jika sudah menikah).
If somebody loves you…
Ia akan rela meninggalkan kota kelahirannya, tempat orangtua dan keluarganya berada, demi mendampingimu yang dipindah bekerja (dimutasi) oleh perusahaanmu. Bahkan bila itu berarti ia harus meninggalkan pekerjaannya juga. Ia tidak akan bisa hidup tanpamu.
If somebody loves you…
Ia akan mengingat merk parfum yang kau kenakan pada saat pertama kalian berkencan!
If somebody loves you…
Ia akan mampir ke toko buku di kantornya untuk membelikan novel yang ditulis oleh teman sekolahmu dulu – karena kau selalu ribut menginginkan buku itu.
If somebody loves you…
Ah, masih banyaaaak lagi tambahannya dari hal sepele hingga hal besar yang menunjukkan kecintaannya padamu! Ingin menambahkan? Silahkaaan…. Bersyukurlah selalu untuk cintanya padamu! Belajarlah untuk tak terlalu banyak menuntut (I’m learning so so so hardly). Dan ingat, cintailah ia juga sebanyak ia mencintaimu