Kamis, 16 Oktober 2014

Sepenggal Kisah Perantauan dan Nostalgia Cinta




Tepat enam tahun yang lalu, kuputuskan pergi meninggalkan rumah orangtuaku. Bukan, bukannya aku kabur seperti mahasiswa sekarang-yang bila tak dituruti maunya-ia akan kabur naik pesawat ke Bandung- bukan seperti itu.
Aku hendak merantau.
Tak tahulah mengapa tiba-tiba kuputuskan begitu. Aku yang menangis rindu sepanjang malam ketika KKN selama sebulan di sebuah pabrik obat di kawasan Cibitung? Ha! Temanku saja kesal melihatku menangis sepanjang malam. Aku bahkan minta ditemani nenekku kala itu selama dua pekan-dari jangka waktu satu bulan. Hahaha.
Manja ya?
Lantas mengapa tiba-tiba merantau?
Panggilan jiwa. Ditambah waktu itu ada kesempatan yang datang, jadi kuputuskan untuk mencobanya. Toh disana aku akan tinggal bersama om dan tanteku. Jadi aku tidak akan lepas dari pengawasan ayah ibuku (bukankah memang sepatutnya anak dalam pengawasan orangtua sebelum ia menikah?).
Bukan berarti aku kemana-mana diantar om dan tante. Mereka hanya sebatas menyediakan tempat tinggal (dan makan tentu haha). Mengenai pekerjaan, pulang pergi kantor, dsb – tentu adalah urusanku sendiri. Tidak ada istilah bermanja-manja di dalam kamus seorang perantauan.
Mendaratlah aku di kota ini. Kota yang sepertinya hidup sepanjang hari. Seminggu awal aku masih bersantai-santai. Hanya satu dua kali pergi interview. Selebihnya aku menjajal kota Jakarta seorang diri. Ya, sendiri. Teman angkatanku (baca: kroco-krocoku) masih banyak yang masih dalam proses skripsi jadilah aku berpetualang sendiri.
Seru!
Kesana kemari dengan kopaja (haha aku kala itu belum mengerti busway!). Aku ingat kata-kata tanteku, kemana pun kamu pergi (baca: kalo nyasar), cari saja kopaja atau bus kearah blok M. Dari seantero Jakarta (mau pulogadung, rambutan, kampung melayu, senen, sudirman, kuningan, senayan-sebut saja semua) PASTI-lah ada yang jurusan Blok M. Dan dari Blok M, aku sudah tahu pasti jalan pulang, kopaja 69 Blok M- Ciledug. Hohoho.
Aku sangat menikmati minggu pertamaku di sana. Mengitari mall, menonton bioskop, kuliner, aku lakoni sendiri. Pikirku, nikmat juga Jakarta bila tak usah bekerja ya. Bisa kemana-mana tanpa mengeluh macet dan ramai. Saat itu juga aku bermimpi mau jadi pengusaha saja di Jakarta (tapi kan baru mimpi saja. Kenyataannya aku ya jadi pegawai juga).
Memasuki minggu kedua, aku mulai jenuh. Aku mulai bosan kemana-mana sendiri. Dan mulai khawatir bagaimana jika tidak mendapat pekerjaan disini. Apa aku mau balik ke kampung-semudah itu? Oh tidak.
Penantianku terjawab pada keesokan hari. Aku dinyatakan diterima di suatu badan outsourcing (demi Tuhan waktu itu aku belum mengerti sistemnya jadi ya aku nurut-nurut saja hahaha) untuk ditempatkan di Citifinancial, anak perusahaan Citibank-yang terletak di kawasan Pondok Indah.
Cakep, pikirku. Aku bakal bekerja di bank besar. Di Pondok Indah, pula.
Aku sangat excited.
Lingkungan kerja nyaman (kami banyak tertawa disana), banyak teman-teman seumuran, makanan enak, pakaian bebas (kau boleh bergaya dan bermake up semaumu asal rapi). Apa yang kurang? Pekerjaannya tak sesuai yang kuharapkan. Aku ditugaskan sebagai desk collector – alias tukang tagih via telfon yang menghubungi nasabah Kredit Tanpa Agunan (KTA). Yawn. Kupikir aku akan berhadapan langsung dengan nasabah. Ternyata hanya via telfon dan itu pun hanya menagih saja. Menagih saja itu kan katamu. Jangan ditanya banyak daftar nasabahnya. Dan jumlah pinjamannya. Wohooo. Jakarta memang tempatnya uang berputar, heh? Tak heran kami digaji cukup besar untuk pekerjaan kami. Tapi tetap saja, aku jenuh mengerjakan hal yang sama setiap hari. Ditambah lagi, jam kerja kami disni sistem shift. Tidak 24 jam memang, paling malam pulang jam 9. Tapi tetap saja, jika kebagian pulang jam 9 bisa dibayangkan seramnya aku (yang waktu itu masih ngangkot) menunggu bus Mayasari Rambutan-Ciledug (AC 73 hahaha gw masih hapal aja) untuk pulang ke rumah om tanteku di daerah Kreo (Cipadu). Mana bus itu lewatnya hanya 30 menit sekali dan bila malam bisa-bisa 1 jam sekali! Syukurnya berteman, aku mendapat alternative jalan pulang. Ke Blok M dulu saja naik kopaja 62 Blok M - Lebak Bulus dan semua masalah akan terpecahkan haha. Bisa juga naik angkot D14 dari Lebak Bulus langsung ke Ciledug. Namun horornya terminal di malam hari membuatku enggan kesana bila tak ada teman.
Menyedihkan sekali hidupku ya? Perempuan kota kecil njomblo pulang sendirian di malam hari. Lebay sih sebenarnya, ada juga kok teman perempuan yang sama-sama pulang semalam itu-hanya saja tak searah. Ada roza, diah, heksa-beberapa dari teman-teman perempuan yang kuingat pernah pulang bersama-sama. Kami tidak dalam satu tim dan jam kerja kami juga kadang tak samaan, jadi kami tak bisa pulang bersama-sama setiap hari.
Hingga aku bertemu dia.
Iya, dia.
Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit hitam dengan deretan giginya yang rapi dan selalu tersenyum dan suaranya…seksi… Ia mengenakan sepatu hitam di Senin-Kamis dan converse khaki di hari Jumat (dan Sabtu Minggu bila ia dijadwalkan mendapat shift).
Hahahaha. Itu kan gambaran ketika aku sudah jatuh hati padanya! Sebelum aku jatuh hati padanya tolong dibaca sampai kata kulit hitam saja, tambahan, jerawatan! Wkwkwk.
Hadie Bandarian Syah. Tinggal di Cipondoh (baca: melewati Ciledug).
Adalah nasihat seorang teman bernama Benk-benk (padahal mah namanya Bambang! Haha) untu men-take Hadie sebagai partner pulang (baca: pemberi tebengan). Sebenarnya si Benk-benk inilah yang paling dekat rumahnya denganku, sama-sama di Kreo. Hanya saja ia telah ditake seorang gadis turunan Tionghoa yang cantik jelita-yang diantarnya pulang setiap hari ke daerah Kalibata baca: pacaran). Jadi si Bambang ini menyuruhku untuk pulang bareng Adi (Bintaro) atau Hadie (Cipondoh).
Daaan… aku pun pertama menanyakan kepada Adi Bintaro – yang sudah pernah satu dua kali kusapa. Ternyata jawabannya tidak memuaskan. Menolak karena katanya dari Bintaro pun cukup ribet naik angkotnya dan jam 9 malam dipastikan sudah tidak ada angkot. Mungkin ia enggan memikirkan harus mengantarku malam-malam ke Cipadu kemudian balik lagi ke Bintaro.
Ya sudahlah. Tak mengapa. Toh hanya bertanya saja. Itu pun hanya dlam kondisi pulang jam 9 malam saja. Bila pulang jam 2 siang atau jam 5 sore mah, aku tidak perlu menebeng siapa-siapa.
Kucoba peruntunganku dengan Hadie Cipondoh. Dan jawabannyaaa… eng ing eeeng. Tetap ditolak. Hahaha. Apa muka gw sejelek itu ya? Perasaan engga. Wkwkwk. Tap coba kita lihat dulu alasan si Hadie ini menolakku.
Oh, rupanya ia sudah di take duluan oleh kak Dian-perempuan kecil mungil, cantik dan jomblo- yang tinggal di Bintaro. Hadie pun memberi isyarat aku boleh menumpang bila saja kak Dian tidak minta nebeng duluan pada hari-hari berikutnya. Oh, tentu saja. Bila Kak Dian tak menumpang baru aku boleh menumpang. Second tebengan. Tak apalah… Yang penting aman sentausa hingga tujuan. Haha. Hopeless sekali aku kala itu ya? Aku bahkan meminta orangtuaku membelikanku mobil sederhana-sehingga aku tidak perlu ngemis-ngemis minta tebengan seperti ini. Kesal rasanya harus bergantung pada orang.
Orang?
Iya, orang. Yang akan menjadi suamiku dalam dua tahun ke depan, ternyata.
Status tebengan nomer dua-tidak berlaku lama untukku. Aku yang supel dan Hadie yang humble (apalah bedanya supel dan humble?) membuat kami nyambung ngobrol sepanjang malam-malam tebenganku. Aku pun lantas menjadi tebengan nomor satu-dan satu-satunya Hadie. Hahaha.
Kami semakin dekat. Kami bahkan bicara soal suka-sukaan. Hadie menyukai Benita. Aku menyukai Yatno. Tapi entah mengapa lambat laun kami mulai enggan membicarakan orang yang (kami rasa saat itu) kami suka. Kami lebih menyukai bicara tentang diri kami masing-masing. Tentang kesukaan kami. Tentang keluarga.
Dan pada malam Hadie datang ke rumah tanteku mengajakku makan martabak mesir bersama, aku langsung tahu pada saat itu, kami sudah saling jatuh cinta. Sayangnya, hari itu sudah lewat jam 9 malam. 9 lewat 15 tepatnya. Dan om dan tanteku saat itu sedang dalam formasi lengkap (ada om Dede dan tante Vivi juga), mereka belum begitu mengenal Hadie, kondisinya, tak mungkin aku meninggalkan rumah. Aku sangat merasa menyesal pada Hadie yang sudah sengaja datang (ya, ia sudah pulang dulu ke rumah baru mengajakku makan). Momen tak terlupakan. Yang membuat hari-hari kami ke depan semakin saling terikat satu sama lain. Tapi kami masih canggung dan belum mengakuinya. Mulanya hanya tumpangan pulang saat shift malam. Berlanjut tumpangan shift pagi dan sore. Lalu berlanjut berangkat pagi bersama. Ehemm.
Hadie bolos kerja, aku juga bolos kerja. Hadie terlambat, sudah bisa dipastikan aku juga (karena aku tak akan mau pergi bekerja tanpa Hadie. Aku tak mau capek-capek naik angkot hahaha). Hadie pun mulai berada dimana aku berada. Di gathering tim-ku, ada Hadie. Aku masih ingat benar kala itu ke Ragunan dan aku merasa pusing lalu Hadie menggandeng tanganku lalu mengantar pulang. Aku lupa, saat itu benar-benar pusing apa hanya mencari-cari perhatian Hadie ya? Ahahaha.
Kami berdua sudah semakin canggung dengan kedekatan tanpa status kami saat itu. Saat aku berulang tahun, hadie mulai memberanikan diri pamer kedekatan denganku. Ia menghampiri bucketku di saat semu orang memperhatikan, lalu mengucapkan selamat ulang tahun. Hahaha. Pada awalnya aku kecewa ia tidak mengucapkan sepatah kata apapun di pagi hari berangkat bersama. Tapi ia sudah sms sih. Ia yang paling pertama member selamat lewat sms. Tapi ia tak emnelpon. Pun diam saja dalam perjalanan kantor. Sontak ketika ia mengucapkan selamat di hadapan semua rekan kerjaku, seolah ia berkata “she is mine (atau my target? Haha bleguk)”. Ah, itu hal yang tak akan aku lupakan dari Hadie seumur hidup. Pun ketika ia bercanda sambil lalu ketika ada yang menanyakan apa kami hanya berteman? Ia menjawab, “Ya. Teman hidup”. Wahhh, belum ada yang pernah seberani itu padaku sebelumnya. Bercanda seperti itu padahal menembak saja belum.
Singkat cerita, pada akhirnya, saat aku memutuskan untuk mencari pekerjaan baru yang lebih masuk akal jam kerjanya. Bukan berarti aku tak suka kerja di CF. Bukan. Aku ingin kondisi kerja yang lebih baik lagi. Dari sana aku tahu, Hadie selalu mendukungku. Ia mendukungku untuk menjadi lebih baik. Status kami masih berteman saat itu. Aku ijin sehari untuk mengikuti tes masuk suatu Bank Syariah. Dan ia mengatakan betapa kantor sepi tanpaku dan menanyakan jam berapa aku pulang tes. Ia menawarkan menjemputku di Gedung Patra Cawang. Namun karena aku kasihan, terlalu jauh, aku mengatakan lebih baik ia menunggu di Blok M saja.
Dan ya, itulah dia hari terbesar kami. 2 Februari 2009. Kami pun mengikatkan diri menjadi sepasang kekasih. Beranjut pada April 2009, Hadie pun menemui orangtuaku-pertanda keseriusannya denganku. Bukaan bukan melamar! Berkenalan saja. Aku kagum padanya. Baru mengenalku beberapa bulan dan ia tidak takut menemui orangtuaku. Aku tahu mulai saat itu, apapun yang terjadi, kemanapun nasib membawa kami, seberat apapun godaan dan ujian yang membentang di hadapan kami, aku tahu, aku adalah miliknya sejak saat itu. Aku hanya akan menginginkan dia. Entahlah apa ia merasa begitu. Ia bukan tipikal yang banyak berkata-kata. Jika serius ya temui sja orangtuanya. Jika sayang padanya ya dampingi ia mencapai cita-cotanya- bahkan bila itu berarti aku harus mengorbankan waktuku. Seperti itulah kira-kira yanga da di benak Hadie. Sedikit gombal. Banyak bukti. Yang membuatku yakin, semiring apapun orang menanggapi kami, kami akan maju terus bersama-sama yes, I can’t live without him!
Nah, itu tadi sedikit tentang Hadie (what? Sedikit? Haghag). Lanjut pada perantauanku. Hari-hariku tak lagi sendiri kini Aku pun lanjut dengan cita-citaku. Bekerja di bank swasta syariah. Pertama aku ditempatkan di daerah BSD. Aku menangis karena tidak lagi menghabiskan jam kerja bersama Hadie. Quality time kami terpangkas. Aku kangen dia. Ia pun member kejutan dengan menjemputku suatu kali (tidak setiap hari). Aku langsung menghambur ke pelukannya dan terisak-isak. Aku tidak mau tidak bersama-sama dia.
Di bank syariah Aku menemukan ketenangan hidup. Ketenangan bekerja. Ketenangan jam kerja juga termasuk. Namun tidak dengan ketenangan kantong haha. Gajinya ternyata tak sesuai. Aku pun rajin ikut tes sana sini. Begitu pun Hadie. Hingga akhirnya pelabuhanku berikutnya, sebuah perusahaan BUMN. Sebagai karyawan tetap. Bukan lagi outsourcing.
Aku telah mencapainya. Dan aku tidak akan mencapainya tanpa Hadie. Dan ternyata pencapaianku itu malah membuatku semakin jauh dengan Hadie-ku. Aku hanya memiliki sedikit waktu untuknya. Itu pun sering kami habiskan dengan bertengkar. Aku tak habis pikir. Padahal BUMN ini memberiku segalanya (baca: jika segalanya yang kau maksud adalah uang).
Aku kembali memikirkan apa tujuan aku merantau. Mencari pekerjaan? Membuatku mandiri? Membuatku jadi wanita tangguh?
Ya, aku sudah mendapat semuanya.
Kini salahkah bila aku ingin kembali? Kembali mendapatkan waktuku bersama Hadie, bersama anak kami? Aku tidak ingin menyesal nanti. 5 tahun sudah kuhabiskan dengan berjuang bertempur darah dan air mata. Aku rasa sudah cukup dengan dunia. Aku ingin memfokuskan diri. Aku ingin berhenti. Membangun quality time yang tanpa batas dengan Hadie ku, dan nona Hadie kecilku. Perantauan itu adalah menempa diri. Dan sekarang kuputuskan untuk menempa diri sekali lagi. Aku sudah cukup lama berada di zona nyaman-menerima gaji dan bonus tanpa perlu susah –suah mengasah otak dan kemampuan. Kurasa sudah cukup yang kupunya untuk dunia. Aku ingin bebas merdeka. Aku sudah melewati segalanya. Sekarang aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar