Disinilah aku. Bangun di kasur
ukuran king dengan bedcover yang nyaman setiap pagi. Sarapan telah
tersedia. Tetek bengek anakku telah tersusun rapi oleh ibu di depan
televisi.
Tapi apa yang aku rasa?
Hampa.
Aku lebih menyukai kebersamaan
kami sendiri di rumah mungil ukuran 46/73. Kehebohan yang kami
hadirkan setiap pagi. Cepat sana cepat sini. Siapa yang mandi duluan
siapa yang bikin sarapan. Hayu gantian pegangin dan suapin Alika
sebelum mbah yang momongnya datang. Kehangatan tiap pagi yang kini
kurindukan. Kemudian diantar suami ke kantor dengan sepeda motor.
Disini aku diantar oleh ibu
dengan mobil mungilnya atau oleh ayah dengan mobil pick up ala
countrynya yang berharga. Manja? Iya. Kondisiku yang beranak satu dan
dalam masa pemulihan membuatku sangat bergantung pada orangtuaku. Aku
sih bersedia saja berangkat menggunakan trans setiap pagi-jika saja
setiap di angkutan itu aku tidak melulu melelehkan airmata-walaupun
aku berpura-pura tidur-dan membuat semua orang menoleh ke arahku.
Aku merindukan suamiku.
Melebihi kemewahan dan
kemudahan apapun yang aku dapatkan disini. Aku merindukan suamiku.
Suaranya. Candanya yang
ditingkahi gelak tawa anak kami. Baunya sepulang bekerja. Pelukannya.
Pertanyaan menyebalkannya setiap pagi yang selalu sama “Dimana
slayerku? Dimana kaus kakiku?” – ya dia selalu lupa dimana ia
meletakkan perintilan wajibnya itu.
Ah ya. Lelaki asing yang baru
kukenal sekitar enam tahun yang lalu itu entah bagaimana telah
membuat kehadirannya sama seperti darah yang mengalir di nadiku.
Begitu dekat. Begitu melekat. Yang tanpanya hidupku tak akan
sempurna.
Aku baru saja melihat-lihat
foto-foto kami. Kucel, iya. Kami sama-sama terpanggang matahari, Sama
sekali tak terawat. Kami hampir-hampir tidak punya waktu
memperhatikan penampilan kami-yang suka diprotes oleh orangtuaku
amupun orangtuanya. Habis mau bagaimana, kami sama-sama sibuk
bekerja. Sepulang bekerja kami kelelahan dan tak sempat melakukan
treatment apa-apa. Weekend pun sudah dihabiskan dengan rencana demi
rencana.
Ah, akupun berniat pindah ke
kota kecil yang tak sehingar bingar tempat kami berada saat ini. Aku
pun pindah lebih dulu bersama putri kecil kami. Ia menyusul nanti.
Akhir tahun, katanya. Kemudian ia majukan menjadi akhir Oktober. Dan
tadi pagi ia kembali mengirimkan pesan singkat bagaimana jika ia
berhenti bekerja sekarang juga dan pindah kemari? Hahaha.
Rupanya ia pun merindukan
keluarga kecilnya.
Pada anaknya, tentu. Padaku,
entahlah. Hahaha (ga mau geer dong. Habisan suami bukan tipe yang
suka sms trus bilang kangen, cinta, dan semacamnya. Tapi mendadak
udah resign aja trus datang kesini deh hehe).
Tiada hari tanpa menangis.
Ia partner berdebatku. Tempat
curhat paling paten yang kupunya. Semua masalah, apabila mendengarkan
dia, akan terasa mudah. Ia tidak romantis, tidak. Yang romantis
justru aku-yang meninggalkan ia di rumah dengan surat plus cap bibir
aku dan anaknya dan mengatakan berbagai hal yang katanya membuatnya
menangis tersedu-sedu (ah memang dasar begini nih kalau punya istri
penulis hahaha). Padahal surat itu Cuma berisi pesan-pesan “jangan
lupa ini jangan lupa itu” dan “we love u ipi. Cepet nyusul ya.
Kalau kangen ama kita itu di belakang pintu ada baju bau acem kita
hehehe”. Gitu doang bikin nangis ya emang? Wkwk.
Ah, di satu sisi aku memang
mendapatkan ketenangan. Aku jauh lebih rileks disini. Jauh lebih bisa
beristirahat dan memperhatikan diriku. Aku bersyukur. Aku pun bisa
bersama-sama orangtuaku yang sudah enam tahun kutinggal pergi
merantau. Dan kunikahi pula orang perantauan sana. Hahaha. Semakin
kecil peluangku untuk kembali ke pangkuan mereka. Tapi tidak. Suamiku
mencintai keluargaku sama besarnya denganku. Ia sama sekali tidak
melarang aku ingin kembali ke tanah kelahiranku. Ia bahkan rela
meninggalkan pekerjaannya pun orangtuanya disana dan menyusul kami
kemari (dan aku masih merasa suamiku harus harus harus romatisss??
Hahaha. Penuntut sekali jika begitu!).
Aku tidak sabar menanti
Oktober yang dijanjikannya. Aku bermimpi akan kembali menjadi partner
bekerjanya seperti saat pertama kami bertemu. Kami sekantor.
Berangkat dan pulang bersama. Dhuha dzuhur ashar bersama. Makan siang
bersama. Makan malam juga hampir dipastikan selalu bersama.
Tergantung tanggal berapa. Kalau tanggal muda pastilah ke resto
ternama. Kalau tanggal tua ya tinggal mampir kalau tidak ke rumah
tanteku ya ke rumah opanya suamiku. Hahaha.
Ah, tidak ada pekerjaan yang
lebih kusukai daripada saat ketika sekantor bersama suamiku (masih
calon ketika itu). Aku bisa bekerja dan melihat wajahnya sepanjang
hari – baik dirumah maupun di kantor. Ahahahaha. Dia sendiri akan
bosan tidak ya? Seingatku aku tidak pernah mengeluh bekerja ketika
itu. Walaupun jam kerja kami sangat luarrr biasa (karena slogannya
perusahannya sendiri “Tak Pernah Tidur” hahaha). Tapi ajaib. How
life become easier and funner while he is around! And I can’t wait
for those time to come
Tidak ada komentar:
Posting Komentar