Kamis, 16 Oktober 2014

Rindu Rumah Kecilku


Disinilah aku. Bangun di kasur ukuran king dengan bedcover yang nyaman setiap pagi. Sarapan telah tersedia. Tetek bengek anakku telah tersusun rapi oleh ibu di depan televisi.
Tapi apa yang aku rasa? Hampa.
Aku lebih menyukai kebersamaan kami sendiri di rumah mungil ukuran 46/73. Kehebohan yang kami hadirkan setiap pagi. Cepat sana cepat sini. Siapa yang mandi duluan siapa yang bikin sarapan. Hayu gantian pegangin dan suapin Alika sebelum mbah yang momongnya datang. Kehangatan tiap pagi yang kini kurindukan. Kemudian diantar suami ke kantor dengan sepeda motor.
Disini aku diantar oleh ibu dengan mobil mungilnya atau oleh ayah dengan mobil pick up ala countrynya yang berharga. Manja? Iya. Kondisiku yang beranak satu dan dalam masa pemulihan membuatku sangat bergantung pada orangtuaku. Aku sih bersedia saja berangkat menggunakan trans setiap pagi-jika saja setiap di angkutan itu aku tidak melulu melelehkan airmata-walaupun aku berpura-pura tidur-dan membuat semua orang menoleh ke arahku.
Aku merindukan suamiku.
Melebihi kemewahan dan kemudahan apapun yang aku dapatkan disini. Aku merindukan suamiku.
Suaranya. Candanya yang ditingkahi gelak tawa anak kami. Baunya sepulang bekerja. Pelukannya. Pertanyaan menyebalkannya setiap pagi yang selalu sama “Dimana slayerku? Dimana kaus kakiku?” – ya dia selalu lupa dimana ia meletakkan perintilan wajibnya itu.
Ah ya. Lelaki asing yang baru kukenal sekitar enam tahun yang lalu itu entah bagaimana telah membuat kehadirannya sama seperti darah yang mengalir di nadiku. Begitu dekat. Begitu melekat. Yang tanpanya hidupku tak akan sempurna.
Aku baru saja melihat-lihat foto-foto kami. Kucel, iya. Kami sama-sama terpanggang matahari, Sama sekali tak terawat. Kami hampir-hampir tidak punya waktu memperhatikan penampilan kami-yang suka diprotes oleh orangtuaku amupun orangtuanya. Habis mau bagaimana, kami sama-sama sibuk bekerja. Sepulang bekerja kami kelelahan dan tak sempat melakukan treatment apa-apa. Weekend pun sudah dihabiskan dengan rencana demi rencana.
Ah, akupun berniat pindah ke kota kecil yang tak sehingar bingar tempat kami berada saat ini. Aku pun pindah lebih dulu bersama putri kecil kami. Ia menyusul nanti. Akhir tahun, katanya. Kemudian ia majukan menjadi akhir Oktober. Dan tadi pagi ia kembali mengirimkan pesan singkat bagaimana jika ia berhenti bekerja sekarang juga dan pindah kemari? Hahaha.
Rupanya ia pun merindukan keluarga kecilnya.
Pada anaknya, tentu. Padaku, entahlah. Hahaha (ga mau geer dong. Habisan suami bukan tipe yang suka sms trus bilang kangen, cinta, dan semacamnya. Tapi mendadak udah resign aja trus datang kesini deh hehe).
Tiada hari tanpa menangis.
Ia partner berdebatku. Tempat curhat paling paten yang kupunya. Semua masalah, apabila mendengarkan dia, akan terasa mudah. Ia tidak romantis, tidak. Yang romantis justru aku-yang meninggalkan ia di rumah dengan surat plus cap bibir aku dan anaknya dan mengatakan berbagai hal yang katanya membuatnya menangis tersedu-sedu (ah memang dasar begini nih kalau punya istri penulis hahaha). Padahal surat itu Cuma berisi pesan-pesan “jangan lupa ini jangan lupa itu” dan “we love u ipi. Cepet nyusul ya. Kalau kangen ama kita itu di belakang pintu ada baju bau acem kita hehehe”. Gitu doang bikin nangis ya emang? Wkwk.
Ah, di satu sisi aku memang mendapatkan ketenangan. Aku jauh lebih rileks disini. Jauh lebih bisa beristirahat dan memperhatikan diriku. Aku bersyukur. Aku pun bisa bersama-sama orangtuaku yang sudah enam tahun kutinggal pergi merantau. Dan kunikahi pula orang perantauan sana. Hahaha. Semakin kecil peluangku untuk kembali ke pangkuan mereka. Tapi tidak. Suamiku mencintai keluargaku sama besarnya denganku. Ia sama sekali tidak melarang aku ingin kembali ke tanah kelahiranku. Ia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya pun orangtuanya disana dan menyusul kami kemari (dan aku masih merasa suamiku harus harus harus romatisss?? Hahaha. Penuntut sekali jika begitu!).
Aku tidak sabar menanti Oktober yang dijanjikannya. Aku bermimpi akan kembali menjadi partner bekerjanya seperti saat pertama kami bertemu. Kami sekantor. Berangkat dan pulang bersama. Dhuha dzuhur ashar bersama. Makan siang bersama. Makan malam juga hampir dipastikan selalu bersama. Tergantung tanggal berapa. Kalau tanggal muda pastilah ke resto ternama. Kalau tanggal tua ya tinggal mampir kalau tidak ke rumah tanteku ya ke rumah opanya suamiku. Hahaha.
Ah, tidak ada pekerjaan yang lebih kusukai daripada saat ketika sekantor bersama suamiku (masih calon ketika itu). Aku bisa bekerja dan melihat wajahnya sepanjang hari – baik dirumah maupun di kantor. Ahahahaha. Dia sendiri akan bosan tidak ya? Seingatku aku tidak pernah mengeluh bekerja ketika itu. Walaupun jam kerja kami sangat luarrr biasa (karena slogannya perusahannya sendiri “Tak Pernah Tidur” hahaha). Tapi ajaib. How life become easier and funner while he is around! And I can’t wait for those time to come

Tidak ada komentar:

Posting Komentar