Rabu, 3 September 2014,
02.00 WIB
Saya harus merelakan janin
saya dikeluarkan paksa dari rahimku. Saya sudah menelan obat peluruh
yang diresepkan dokter kandungan-yang sudah memvonis bahwa janin
saya-dari kehamilan keduaku-telah dipastikan mati sejak usianya 7
minggu.
Innalillahi wainnailaihi
rojiun.
Saya yang saat itu mendatangi
sang dokter sendiri (ya, suami masih bekerja di luar kota dan ibu
sedang menjemput anakku baru kemudian ke rumah sakit) sebetulnya
sangat terpukul. Tetapi saya tidak membiarkan diri lepas kontrol dan
menangis di hadapan dua orang (dokter dan asistennya) yang tidak
begitu saya kenal. Saya hanya berkata, “lalu bagaimana sekarang?
Apa yang harus saya lakukan?”.
Pertanyaan bodoh sebenarnya,
karena sudah jelas, janin kecil itu harus segera dikeluarkan, baik
dengan peluruh maupun dengan kuretase.
Jangan menangis, jangan
menangis.
Air mata sudah menggenang di
pelupuk mata. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk meminum dulu obat
peluruh, saya pun keluar dari ruang praktek dokter-yang berdasar
rekomendasi teman yang bidan-adalah seorang ahli fetomaterna-ahli
kesuburan-yang membuat saya yakin, ia tak akan sembarangan
mengeluarkan janin dari dalam rahim seorang ibu…..
Saya bertemu ibu di lobi rumah
sakit. Saya berkata datar “Semua baik-baik saja. Hanya saja janin
saya tidak tumbuh dan harus dikeluarkan”- pada ibu. Ibu terpukul,
tentu. Ia sungguh mendambakan seorang cucu lagi untuk meramaikan
rumahnya yang selama ini begitu sepi (ya, saya dan anak pertama baru
saja pindah ke kota ini sekitar tiga minggu lalu. Saya sudah enam
tahun merantau dan jauh dari ayah ibu). Saya sudah merasa tidak
memiliki energi lagi. Saya biarkan anak bersama ibu. Anak saya pun
sekalian berobat di rumah sakit yang sama karena batuknya yang tak
kunjung sembuh.
Setelah semuanya selesai, kami
bertiga pulang. Ibu yang menyetir. Kondisi saya both physically
dan mentally tidak memungkinkan saya untuk menyetir sendiri. Saya
memang perdana berangkat menyetir sendiri tadi pagi, dan itu membuat
teman-teman gusar ketika mereka tahu saya flek pada sore harinya.
“Sudah tahu hamil malah bawa mobil sendiri sejauh ini”. Ya, rumah
saya memang lumayan jauh dari kantor.
Dan pecahlah tangis yang
sedari tadi saya tahan begitu berada di mobil selama perjalanan
pulang. Gadis kecilku pun terheran-heran melihat ibunya menangis.
Saya menghujani ia dengan ciuman seraya meminta maaf, “Maaf ya nak,
belum bisa main sama ade bayi”. Saya terus menangis sesenggukan.
Saya tidur dengan mata basah dan terbangun dengan mata yang bengkak.
Tibalah esok hari. Saya sudah
meliburkan diri dari kantor. Saya pun masih dihinggapi dilema, apakah
saya akan meminum obat peluruh atau tidak. Apakah saya coba bertemu
dengan dokter lain di rumah sakit lain? Siapa tahu hasilnya akan
berbeda. Meskipun jauh di dalam lubuk hati saya merasa hal tersebut
nyaris percuma. Karena dari awal kehamilan, saya telah berkonsultasi
dengan empat dokter yang berbeda. Dokter pertama, dokter Sapto di RS
Mulya Tangerang. Dokter kedua dokter Ade Permana juga di RS Mulya.
Ketiga dengan dokter Andhri di RS BMC Padang. Terakhir, dengan dokter
Dovy, juga di RS BMC. Adapun dokter yang hendak kukunjungi yaitu
dokter Ermawati (RSIA Siti Hawa) dan dokter Ananto (RS Yos Sudarso).
Namun saya mengurungkan niat
tersebut. Tidak mungkin empat dokter obsgyn bisa salah. Dari dokter
pertama saya sudah merasa janggal. Bagaimana seorang dokter kandungan
tidak memberi selamat atas kehamilan pasiennya? Dan mengapa ia
menjadwalkan saya untuk bertemu dalam waktu dua minggu? Padahal
normalnya usia kehamilan 1 – 7 bulan, frekuensi pertemuan dengan
dokter kandungan hanya satu kali dalam sebulan. Sang dokter memberi
alasan, janin belum terlihat.
Dokter kedua pun sama. Ia
mengatakan janin masih terlihat samar. Ia malah mengatakan waspada
akan Blighted Ovum (BO). Saya masih berharap dan terus
berharap jangan sampai ini terjadi pada saya. Setelah bertemu dengan
dokter kedua ini, saya pun membrowsing informasi tentang BO dan mulai
menangis semalaman. Firasatku sudah tidak enak. Suamiku menenangkanku
dan mengatakan saya lebih baik berdoa dan menjaga makanku.
Dokter ketiga. Saya sudah
pindah ke kota asal saya, Padang. Dokter ini pun berkata bahwa
janinku kecil sekali. Ya, sudah terlihat jelas cahaya putih terang
(yang merupakan sang janin), memang. Akan tetapi ukurannya sangat
sangat kecil. Saya menarik nafas dan mulai menyiapkan diri untuk
kemungkinan terburuk… Tidak, Tuhan. Tidak di saat saya sedang
berjauhan dengan suamiku.
Dan vonis kuretase pun
terlontar dari dokter ke empat. Karena memang sudah tidak ada
harapan. Dari hasil USG terlihat cahaya putih di kantung rahimku
tidak bertumbuh besar dan hanya diam di satu bagian saja. Tidak
bergerak. Tidak berdenyut. Saya pun terbata dan menanyakan apa tidak
ada kemungkinan diberi obat penguat, Saya tahu pertanyaan itu sia-sia
karena memang firasat seorang Ibu, yang sedari awal memang sudah
merasakan there’s something wrong with my pregnancy…
Saya jabarkan disini:
- Saat saya melakukan tes kehamilan sendiri, waktu itu bulan puasa, saya nyaris telah berpuasa sebulan penuh, dan tentu saya bertanya-tanya why I don’t get my period yet dan terus merasa pusing dan mual, bahkan pingsan sebanyak dua kali (di pasar dan di ATM!). Saya kaget. Seingat saya, pembuahan terakhir kami adalah dua hari sebelum saya mendapat menstruasiku yang terakhir.
- Saya berasumsi, bahwa pembuahan yang terjadi sebelum saya mendapat menstruasiku yang terakhir (pada 16 Juni), sperma bertemu dengan sel telur yang kondisinya sudah tidak bagus (karena akan segera luruh menjadi darah menstruasi).
- Hasil testpack menyatakan positif, memang. Karena dari pembuahan tersebut terbentuk kantung rahim dan terdeteksilah hormon kehamilan (GCG). Alat testpack hanya dapat mengidentifikasi hormon GCG tersebut walau tidak ada embrio/janin yang terbentuk. Dan ya, saya positif dua garis. Garisnya tajam dan jelas. Berbeda dengan kehamilan yang pertama. Garisnya samar-samar. Namun ketika saya mengunjungi dokter Rohati (RS Hermina Ciputat), saya langsung diberi ucapan selamat. Karena Alhamdulillah, janinnya langsung terlihat dan langsung terdeteksi detak jantungnya meskipun usianya baru 5 minggu kala itu.
- Menurut hasil browsingku, selama tidak terjadi flek/pendarahan dalam masa kehamilan, kemungkinan BO dapat disingkirkan. Karena tanda awal BO yaitu dengan adanya flek/pendarahan. Ditambah lagi kata temanku, BO tidak akan merasakan mual dan muntah. Sedangkan saya, mual dan muntah hebat.
- Saya tidak BO. BO tidak memiliki embrio di dalam kantung rahimnya. Kantung rahimku memiliki embrio. Hanya saja ia tidak lagi berkembang di usia 7 minggu. Hal ini tidak terjadi karena: kelelahan, terjatuh, tidak memperhatikan asupan makanan. Tidak. Karena memang ini dinamakan seleksi alam. Embrio yang terbentuk dari sel yang sudah rusak, tentu akan terseleksi oleh alam dan dengan sendirinya akan berhenti pertumbuhannya. Universe conspire agar hanya janin-janin yang sehat yang dapat terus bertumbuh karena bila tidak, akan ada banyak bayi yang terlahir dalam kondisi cacat which is…bad. Dan kita sebagai manusia hanya dapat menerima ketentuan Tuhan ini dengan lapang dada. That’s for sure for our own good
- Saya jarang sekali berinteraksi dengan janinku ini. Mungkin karena saya terlalu takut. Takut bahwa ketakutanku akan menjadi nyata. Dan ya, dalam kesempatan saya mengajaknya berinteraksi pun, seolah tidak ada respon darinya. Karena embrioku, memang sudah tidak lagi hidup…. Pada kehamilan pertama saya sangat rajin mengajak si jabang bayi berkomunikasi dan ia membalasnya lewat desiran dan getaran halus dari tempatnya berada, dan ketika ia tumbuh lebih besar ia akan membalas sapaanku dengan tendangan kaki mungilnya
- Hindarkan jauh-jauh perasaan bersalah. Akan ada banyak pertanyaan dan cerita nantinya dari orang-orang sekeliling anda. Apa anda makan dengan baik? Apa anda mengkonsumsi sesuatu yang bersifat ‘panas’ (misal: nenas dan durian) dan membuat bayi anda luruh? Apa anda telah mencoba ke dokter anu dokter itu? Karena mereka pun mengalami hal yang sama, divonis janin tak berkembang lalu disuruh dikuret, lalu mereka menolaknya, dan ternyata ketika dibawa ke dokter anu janinnya baik-baik saja.
Ingat, lain orang lain
keadannya. Saya pun sempat terpukul dan bertanya-tanya apakah
keputusan saya dikuret sudah benar? Apa saya tidak sengaja telah
membunuh bayi saya yang ternyata sehat-sehat saja?
Nope, hindarkan berpikir
demikian. Ibu yang paling tahu dan paling kenal dengn janinnya. Jika
ada sesuatu yang tidak beres, nurani ibu akan merasakannya. Saya
melihat sendiri dari USG pertama bahwa ya, janin saya memang tidak
berkembang seperti seharusnya. Yang penting ibu telah berusaha
semaksimal mungkin dalam mempertahankan si janin dan terus berharap
everything is fine
Selebihnya, serahkan pada Tuhan.
- Teruslah berusaha berusaha dan berikhtiar
Semoga berhasil semua. Semoga
keluarga kita selalu di dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar