Kamis, 16 Oktober 2014

Selamat Jalan Anakku


Rabu, 3 September 2014, 02.00 WIB
Saya harus merelakan janin saya dikeluarkan paksa dari rahimku. Saya sudah menelan obat peluruh yang diresepkan dokter kandungan-yang sudah memvonis bahwa janin saya-dari kehamilan keduaku-telah dipastikan mati sejak usianya 7 minggu.
Innalillahi wainnailaihi rojiun.
Saya yang saat itu mendatangi sang dokter sendiri (ya, suami masih bekerja di luar kota dan ibu sedang menjemput anakku baru kemudian ke rumah sakit) sebetulnya sangat terpukul. Tetapi saya tidak membiarkan diri lepas kontrol dan menangis di hadapan dua orang (dokter dan asistennya) yang tidak begitu saya kenal. Saya hanya berkata, “lalu bagaimana sekarang? Apa yang harus saya lakukan?”.
Pertanyaan bodoh sebenarnya, karena sudah jelas, janin kecil itu harus segera dikeluarkan, baik dengan peluruh maupun dengan kuretase.
Jangan menangis, jangan menangis.
Air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Ketika akhirnya saya memutuskan untuk meminum dulu obat peluruh, saya pun keluar dari ruang praktek dokter-yang berdasar rekomendasi teman yang bidan-adalah seorang ahli fetomaterna-ahli kesuburan-yang membuat saya yakin, ia tak akan sembarangan mengeluarkan janin dari dalam rahim seorang ibu…..
Saya bertemu ibu di lobi rumah sakit. Saya berkata datar “Semua baik-baik saja. Hanya saja janin saya tidak tumbuh dan harus dikeluarkan”- pada ibu. Ibu terpukul, tentu. Ia sungguh mendambakan seorang cucu lagi untuk meramaikan rumahnya yang selama ini begitu sepi (ya, saya dan anak pertama baru saja pindah ke kota ini sekitar tiga minggu lalu. Saya sudah enam tahun merantau dan jauh dari ayah ibu). Saya sudah merasa tidak memiliki energi lagi. Saya biarkan anak bersama ibu. Anak saya pun sekalian berobat di rumah sakit yang sama karena batuknya yang tak kunjung sembuh.


Setelah semuanya selesai, kami bertiga pulang. Ibu yang menyetir. Kondisi saya both physically dan mentally tidak memungkinkan saya untuk menyetir sendiri. Saya memang perdana berangkat menyetir sendiri tadi pagi, dan itu membuat teman-teman gusar ketika mereka tahu saya flek pada sore harinya. “Sudah tahu hamil malah bawa mobil sendiri sejauh ini”. Ya, rumah saya memang lumayan jauh dari kantor.
Dan pecahlah tangis yang sedari tadi saya tahan begitu berada di mobil selama perjalanan pulang. Gadis kecilku pun terheran-heran melihat ibunya menangis. Saya menghujani ia dengan ciuman seraya meminta maaf, “Maaf ya nak, belum bisa main sama ade bayi”. Saya terus menangis sesenggukan. Saya tidur dengan mata basah dan terbangun dengan mata yang bengkak.
Tibalah esok hari. Saya sudah meliburkan diri dari kantor. Saya pun masih dihinggapi dilema, apakah saya akan meminum obat peluruh atau tidak. Apakah saya coba bertemu dengan dokter lain di rumah sakit lain? Siapa tahu hasilnya akan berbeda. Meskipun jauh di dalam lubuk hati saya merasa hal tersebut nyaris percuma. Karena dari awal kehamilan, saya telah berkonsultasi dengan empat dokter yang berbeda. Dokter pertama, dokter Sapto di RS Mulya Tangerang. Dokter kedua dokter Ade Permana juga di RS Mulya. Ketiga dengan dokter Andhri di RS BMC Padang. Terakhir, dengan dokter Dovy, juga di RS BMC. Adapun dokter yang hendak kukunjungi yaitu dokter Ermawati (RSIA Siti Hawa) dan dokter Ananto (RS Yos Sudarso).
Namun saya mengurungkan niat tersebut. Tidak mungkin empat dokter obsgyn bisa salah. Dari dokter pertama saya sudah merasa janggal. Bagaimana seorang dokter kandungan tidak memberi selamat atas kehamilan pasiennya? Dan mengapa ia menjadwalkan saya untuk bertemu dalam waktu dua minggu? Padahal normalnya usia kehamilan 1 – 7 bulan, frekuensi pertemuan dengan dokter kandungan hanya satu kali dalam sebulan. Sang dokter memberi alasan, janin belum terlihat.
Dokter kedua pun sama. Ia mengatakan janin masih terlihat samar. Ia malah mengatakan waspada akan Blighted Ovum (BO). Saya masih berharap dan terus berharap jangan sampai ini terjadi pada saya. Setelah bertemu dengan dokter kedua ini, saya pun membrowsing informasi tentang BO dan mulai menangis semalaman. Firasatku sudah tidak enak. Suamiku menenangkanku dan mengatakan saya lebih baik berdoa dan menjaga makanku.
Dokter ketiga. Saya sudah pindah ke kota asal saya, Padang. Dokter ini pun berkata bahwa janinku kecil sekali. Ya, sudah terlihat jelas cahaya putih terang (yang merupakan sang janin), memang. Akan tetapi ukurannya sangat sangat kecil. Saya menarik nafas dan mulai menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk… Tidak, Tuhan. Tidak di saat saya sedang berjauhan dengan suamiku.
Dan vonis kuretase pun terlontar dari dokter ke empat. Karena memang sudah tidak ada harapan. Dari hasil USG terlihat cahaya putih di kantung rahimku tidak bertumbuh besar dan hanya diam di satu bagian saja. Tidak bergerak. Tidak berdenyut. Saya pun terbata dan menanyakan apa tidak ada kemungkinan diberi obat penguat, Saya tahu pertanyaan itu sia-sia karena memang firasat seorang Ibu, yang sedari awal memang sudah merasakan there’s something wrong with my pregnancy
Saya jabarkan disini:
  1. Saat saya melakukan tes kehamilan sendiri, waktu itu bulan puasa, saya nyaris telah berpuasa sebulan penuh, dan tentu saya bertanya-tanya why I don’t get my period yet dan terus merasa pusing dan mual, bahkan pingsan sebanyak dua kali (di pasar dan di ATM!). Saya kaget. Seingat saya, pembuahan terakhir kami adalah dua hari sebelum saya mendapat menstruasiku yang terakhir.
  2. Saya berasumsi, bahwa pembuahan yang terjadi sebelum saya mendapat menstruasiku yang terakhir (pada 16 Juni), sperma bertemu dengan sel telur yang kondisinya sudah tidak bagus (karena akan segera luruh menjadi darah menstruasi).
  3. Hasil testpack menyatakan positif, memang. Karena dari pembuahan tersebut terbentuk kantung rahim dan terdeteksilah hormon kehamilan (GCG). Alat testpack hanya dapat mengidentifikasi hormon GCG tersebut walau tidak ada embrio/janin yang terbentuk. Dan ya, saya positif dua garis. Garisnya tajam dan jelas. Berbeda dengan kehamilan yang pertama. Garisnya samar-samar. Namun ketika saya mengunjungi dokter Rohati (RS Hermina Ciputat), saya langsung diberi ucapan selamat. Karena Alhamdulillah, janinnya langsung terlihat dan langsung terdeteksi detak jantungnya meskipun usianya baru 5 minggu kala itu.
  4. Menurut hasil browsingku, selama tidak terjadi flek/pendarahan dalam masa kehamilan, kemungkinan BO dapat disingkirkan. Karena tanda awal BO yaitu dengan adanya flek/pendarahan. Ditambah lagi kata temanku, BO tidak akan merasakan mual dan muntah. Sedangkan saya, mual dan muntah hebat.
  5. Saya tidak BO. BO tidak memiliki embrio di dalam kantung rahimnya. Kantung rahimku memiliki embrio. Hanya saja ia tidak lagi berkembang di usia 7 minggu. Hal ini tidak terjadi karena: kelelahan, terjatuh, tidak memperhatikan asupan makanan. Tidak. Karena memang ini dinamakan seleksi alam. Embrio yang terbentuk dari sel yang sudah rusak, tentu akan terseleksi oleh alam dan dengan sendirinya akan berhenti pertumbuhannya. Universe conspire agar hanya janin-janin yang sehat yang dapat terus bertumbuh karena bila tidak, akan ada banyak bayi yang terlahir dalam kondisi cacat which is…bad. Dan kita sebagai manusia hanya dapat menerima ketentuan Tuhan ini dengan lapang dada. That’s for sure for our own good
  6. Saya jarang sekali berinteraksi dengan janinku ini. Mungkin karena saya terlalu takut. Takut bahwa ketakutanku akan menjadi nyata. Dan ya, dalam kesempatan saya mengajaknya berinteraksi pun, seolah tidak ada respon darinya. Karena embrioku, memang sudah tidak lagi hidup…. Pada kehamilan pertama saya sangat rajin mengajak si jabang bayi berkomunikasi dan ia membalasnya lewat desiran dan getaran halus dari tempatnya berada, dan ketika ia tumbuh lebih besar ia akan membalas sapaanku dengan tendangan kaki mungilnya
  7. Hindarkan jauh-jauh perasaan bersalah. Akan ada banyak pertanyaan dan cerita nantinya dari orang-orang sekeliling anda. Apa anda makan dengan baik? Apa anda mengkonsumsi sesuatu yang bersifat ‘panas’ (misal: nenas dan durian) dan membuat bayi anda luruh? Apa anda telah mencoba ke dokter anu dokter itu? Karena mereka pun mengalami hal yang sama, divonis janin tak berkembang lalu disuruh dikuret, lalu mereka menolaknya, dan ternyata ketika dibawa ke dokter anu janinnya baik-baik saja.
Ingat, lain orang lain keadannya. Saya pun sempat terpukul dan bertanya-tanya apakah keputusan saya dikuret sudah benar? Apa saya tidak sengaja telah membunuh bayi saya yang ternyata sehat-sehat saja?
Nope, hindarkan berpikir demikian. Ibu yang paling tahu dan paling kenal dengn janinnya. Jika ada sesuatu yang tidak beres, nurani ibu akan merasakannya. Saya melihat sendiri dari USG pertama bahwa ya, janin saya memang tidak berkembang seperti seharusnya. Yang penting ibu telah berusaha semaksimal mungkin dalam mempertahankan si janin dan terus berharap everything is fine Selebihnya, serahkan pada Tuhan.
  1. Teruslah berusaha berusaha dan berikhtiar
Semoga berhasil semua. Semoga keluarga kita selalu di dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar