Tepat enam tahun yang lalu,
kuputuskan pergi meninggalkan rumah orangtuaku. Bukan, bukannya aku
kabur seperti mahasiswa sekarang-yang bila tak dituruti maunya-ia
akan kabur naik pesawat ke Bandung- bukan seperti itu.
Aku hendak merantau.
Tak tahulah mengapa tiba-tiba
kuputuskan begitu. Aku yang menangis rindu sepanjang malam ketika KKN
selama sebulan di sebuah pabrik obat di kawasan Cibitung? Ha! Temanku
saja kesal melihatku menangis sepanjang malam. Aku bahkan minta
ditemani nenekku kala itu selama dua pekan-dari jangka waktu satu
bulan. Hahaha.
Manja ya?
Lantas mengapa tiba-tiba
merantau?
Panggilan jiwa. Ditambah waktu
itu ada kesempatan yang datang, jadi kuputuskan untuk mencobanya. Toh
disana aku akan tinggal bersama om dan tanteku. Jadi aku tidak akan
lepas dari pengawasan ayah ibuku (bukankah memang sepatutnya anak
dalam pengawasan orangtua sebelum ia menikah?).
Bukan berarti aku kemana-mana
diantar om dan tante. Mereka hanya sebatas menyediakan tempat tinggal
(dan makan tentu haha). Mengenai pekerjaan, pulang pergi kantor, dsb
– tentu adalah urusanku sendiri. Tidak ada istilah bermanja-manja
di dalam kamus seorang perantauan.
Mendaratlah aku di kota ini.
Kota yang sepertinya hidup sepanjang hari. Seminggu awal aku masih
bersantai-santai. Hanya satu dua kali pergi interview. Selebihnya aku
menjajal kota Jakarta seorang diri. Ya, sendiri. Teman angkatanku
(baca: kroco-krocoku) masih banyak yang masih dalam proses skripsi
jadilah aku berpetualang sendiri.
Seru!
Kesana kemari dengan kopaja
(haha aku kala itu belum mengerti busway!). Aku ingat kata-kata
tanteku, kemana pun kamu pergi (baca: kalo nyasar), cari saja kopaja
atau bus kearah blok M. Dari seantero Jakarta (mau pulogadung,
rambutan, kampung melayu, senen, sudirman, kuningan, senayan-sebut
saja semua) PASTI-lah ada yang jurusan Blok M. Dan dari Blok M, aku
sudah tahu pasti jalan pulang, kopaja 69 Blok M- Ciledug. Hohoho.
Aku sangat menikmati minggu
pertamaku di sana. Mengitari mall, menonton bioskop, kuliner, aku
lakoni sendiri. Pikirku, nikmat juga Jakarta bila tak usah bekerja
ya. Bisa kemana-mana tanpa mengeluh macet dan ramai. Saat itu juga
aku bermimpi mau jadi pengusaha saja di Jakarta (tapi kan baru mimpi
saja. Kenyataannya aku ya jadi pegawai juga).
Memasuki minggu kedua, aku
mulai jenuh. Aku mulai bosan kemana-mana sendiri. Dan mulai khawatir
bagaimana jika tidak mendapat pekerjaan disini. Apa aku mau balik ke
kampung-semudah itu? Oh tidak.
Penantianku terjawab pada
keesokan hari. Aku dinyatakan diterima di suatu badan outsourcing
(demi Tuhan waktu itu aku belum mengerti sistemnya jadi ya aku
nurut-nurut saja hahaha) untuk ditempatkan di Citifinancial, anak
perusahaan Citibank-yang terletak di kawasan Pondok Indah.
Cakep, pikirku. Aku bakal
bekerja di bank besar. Di Pondok Indah, pula.
Aku sangat excited.
Lingkungan kerja nyaman (kami
banyak tertawa disana), banyak teman-teman seumuran, makanan enak,
pakaian bebas (kau boleh bergaya dan bermake up semaumu asal rapi).
Apa yang kurang? Pekerjaannya tak sesuai yang kuharapkan. Aku
ditugaskan sebagai desk collector – alias tukang tagih via telfon
yang menghubungi nasabah Kredit Tanpa Agunan (KTA). Yawn. Kupikir aku
akan berhadapan langsung dengan nasabah. Ternyata hanya via telfon
dan itu pun hanya menagih saja. Menagih saja itu kan katamu. Jangan
ditanya banyak daftar nasabahnya. Dan jumlah pinjamannya. Wohooo.
Jakarta memang tempatnya uang berputar, heh? Tak heran kami digaji
cukup besar untuk pekerjaan kami. Tapi tetap saja, aku jenuh
mengerjakan hal yang sama setiap hari. Ditambah lagi, jam kerja kami
disni sistem shift. Tidak 24 jam memang, paling malam pulang jam 9.
Tapi tetap saja, jika kebagian pulang jam 9 bisa dibayangkan seramnya
aku (yang waktu itu masih ngangkot) menunggu bus Mayasari
Rambutan-Ciledug (AC 73 hahaha gw masih hapal aja) untuk pulang ke
rumah om tanteku di daerah Kreo (Cipadu). Mana bus itu lewatnya hanya
30 menit sekali dan bila malam bisa-bisa 1 jam sekali! Syukurnya
berteman, aku mendapat alternative jalan pulang. Ke Blok M dulu saja
naik kopaja 62 Blok M - Lebak Bulus dan semua masalah akan
terpecahkan haha. Bisa juga naik angkot D14 dari Lebak Bulus langsung
ke Ciledug. Namun horornya terminal di malam hari membuatku enggan
kesana bila tak ada teman.
Menyedihkan sekali hidupku ya?
Perempuan kota kecil njomblo pulang sendirian di malam hari. Lebay
sih sebenarnya, ada juga kok teman perempuan yang sama-sama pulang
semalam itu-hanya saja tak searah. Ada roza, diah, heksa-beberapa
dari teman-teman perempuan yang kuingat pernah pulang bersama-sama.
Kami tidak dalam satu tim dan jam kerja kami juga kadang tak samaan,
jadi kami tak bisa pulang bersama-sama setiap hari.
Hingga aku bertemu dia.
Iya, dia.
Lelaki bertubuh tinggi dengan
kulit hitam dengan deretan giginya yang rapi dan selalu tersenyum
dan suaranya…seksi… Ia mengenakan sepatu hitam di
Senin-Kamis dan converse khaki di hari Jumat (dan Sabtu Minggu bila
ia dijadwalkan mendapat shift).
Hahahaha. Itu kan gambaran
ketika aku sudah jatuh hati padanya! Sebelum aku jatuh hati padanya
tolong dibaca sampai kata kulit hitam saja, tambahan, jerawatan!
Wkwkwk.
Hadie Bandarian Syah. Tinggal
di Cipondoh (baca: melewati Ciledug).
Adalah nasihat seorang teman
bernama Benk-benk (padahal mah namanya Bambang! Haha) untu men-take
Hadie sebagai partner pulang (baca: pemberi tebengan). Sebenarnya si
Benk-benk inilah yang paling dekat rumahnya denganku, sama-sama di
Kreo. Hanya saja ia telah ditake seorang gadis turunan Tionghoa yang
cantik jelita-yang diantarnya pulang setiap hari ke daerah Kalibata
baca: pacaran). Jadi si Bambang ini menyuruhku untuk pulang bareng
Adi (Bintaro) atau Hadie (Cipondoh).
Daaan… aku pun pertama
menanyakan kepada Adi Bintaro – yang sudah pernah satu dua kali
kusapa. Ternyata jawabannya tidak memuaskan. Menolak karena katanya
dari Bintaro pun cukup ribet naik angkotnya dan jam 9 malam
dipastikan sudah tidak ada angkot. Mungkin ia enggan memikirkan harus
mengantarku malam-malam ke Cipadu kemudian balik lagi ke Bintaro.
Ya sudahlah. Tak mengapa. Toh
hanya bertanya saja. Itu pun hanya dlam kondisi pulang jam 9 malam
saja. Bila pulang jam 2 siang atau jam 5 sore mah, aku tidak perlu
menebeng siapa-siapa.
Kucoba peruntunganku dengan
Hadie Cipondoh. Dan jawabannyaaa… eng ing eeeng. Tetap ditolak.
Hahaha. Apa muka gw sejelek itu ya? Perasaan engga. Wkwkwk. Tap coba
kita lihat dulu alasan si Hadie ini menolakku.
Oh, rupanya ia sudah di take
duluan oleh kak Dian-perempuan kecil mungil, cantik dan jomblo- yang
tinggal di Bintaro. Hadie pun memberi isyarat aku boleh menumpang
bila saja kak Dian tidak minta nebeng duluan pada hari-hari
berikutnya. Oh, tentu saja. Bila Kak Dian tak menumpang baru aku
boleh menumpang. Second tebengan. Tak apalah… Yang penting aman
sentausa hingga tujuan. Haha. Hopeless sekali aku kala itu ya? Aku
bahkan meminta orangtuaku membelikanku mobil sederhana-sehingga aku
tidak perlu ngemis-ngemis minta tebengan seperti ini. Kesal rasanya
harus bergantung pada orang.
Orang?
Iya, orang. Yang akan menjadi
suamiku dalam dua tahun ke depan, ternyata.
Status tebengan nomer
dua-tidak berlaku lama untukku. Aku yang supel dan Hadie yang humble
(apalah bedanya supel dan humble?) membuat kami nyambung ngobrol
sepanjang malam-malam tebenganku. Aku pun lantas menjadi tebengan
nomor satu-dan satu-satunya Hadie. Hahaha.
Kami semakin dekat. Kami
bahkan bicara soal suka-sukaan. Hadie menyukai Benita. Aku menyukai
Yatno. Tapi entah mengapa lambat laun kami mulai enggan membicarakan
orang yang (kami rasa saat itu) kami suka. Kami lebih menyukai bicara
tentang diri kami masing-masing. Tentang kesukaan kami. Tentang
keluarga.
Dan pada malam Hadie datang ke
rumah tanteku mengajakku makan martabak mesir bersama, aku langsung
tahu pada saat itu, kami sudah saling jatuh cinta. Sayangnya, hari
itu sudah lewat jam 9 malam. 9 lewat 15 tepatnya. Dan om dan tanteku
saat itu sedang dalam formasi lengkap (ada om Dede dan tante Vivi
juga), mereka belum begitu mengenal Hadie, kondisinya, tak mungkin
aku meninggalkan rumah. Aku sangat merasa menyesal pada Hadie yang
sudah sengaja datang (ya, ia sudah pulang dulu ke rumah baru
mengajakku makan). Momen tak terlupakan. Yang membuat hari-hari kami
ke depan semakin saling terikat satu sama lain. Tapi kami masih
canggung dan belum mengakuinya. Mulanya hanya tumpangan pulang saat
shift malam. Berlanjut tumpangan shift pagi dan sore. Lalu berlanjut
berangkat pagi bersama. Ehemm.
Hadie bolos kerja, aku juga
bolos kerja. Hadie terlambat, sudah bisa dipastikan aku juga (karena
aku tak akan mau pergi bekerja tanpa Hadie. Aku tak mau capek-capek
naik angkot hahaha). Hadie pun mulai berada dimana aku berada. Di
gathering tim-ku, ada Hadie. Aku masih ingat benar kala itu ke
Ragunan dan aku merasa pusing lalu Hadie menggandeng tanganku lalu
mengantar pulang. Aku lupa, saat itu benar-benar pusing apa hanya
mencari-cari perhatian Hadie ya? Ahahaha.
Kami berdua sudah semakin
canggung dengan kedekatan tanpa status kami saat itu. Saat aku
berulang tahun, hadie mulai memberanikan diri pamer kedekatan
denganku. Ia menghampiri bucketku di saat semu orang memperhatikan,
lalu mengucapkan selamat ulang tahun. Hahaha. Pada awalnya aku kecewa
ia tidak mengucapkan sepatah kata apapun di pagi hari berangkat
bersama. Tapi ia sudah sms sih. Ia yang paling pertama member selamat
lewat sms. Tapi ia tak emnelpon. Pun diam saja dalam perjalanan
kantor. Sontak ketika ia mengucapkan selamat di hadapan semua rekan
kerjaku, seolah ia berkata “she is mine (atau my target? Haha
bleguk)”. Ah, itu hal yang tak akan aku lupakan dari Hadie seumur
hidup. Pun ketika ia bercanda sambil lalu ketika ada yang menanyakan
apa kami hanya berteman? Ia menjawab, “Ya. Teman hidup”. Wahhh,
belum ada yang pernah seberani itu padaku sebelumnya. Bercanda
seperti itu padahal menembak saja belum.
Singkat cerita, pada akhirnya,
saat aku memutuskan untuk mencari pekerjaan baru yang lebih masuk
akal jam kerjanya. Bukan berarti aku tak suka kerja di CF. Bukan. Aku
ingin kondisi kerja yang lebih baik lagi. Dari sana aku tahu, Hadie
selalu mendukungku. Ia mendukungku untuk menjadi lebih baik. Status
kami masih berteman saat itu. Aku ijin sehari untuk mengikuti tes
masuk suatu Bank Syariah. Dan ia mengatakan betapa kantor sepi
tanpaku dan menanyakan jam berapa aku pulang tes. Ia menawarkan
menjemputku di Gedung Patra Cawang. Namun karena aku kasihan, terlalu
jauh, aku mengatakan lebih baik ia menunggu di Blok M saja.
Dan ya, itulah dia hari
terbesar kami. 2 Februari 2009. Kami pun mengikatkan diri menjadi
sepasang kekasih. Beranjut pada April 2009, Hadie pun menemui
orangtuaku-pertanda keseriusannya denganku. Bukaan bukan melamar!
Berkenalan saja. Aku kagum padanya. Baru mengenalku beberapa bulan
dan ia tidak takut menemui orangtuaku. Aku tahu mulai saat itu,
apapun yang terjadi, kemanapun nasib membawa kami, seberat apapun
godaan dan ujian yang membentang di hadapan kami, aku tahu, aku
adalah miliknya sejak saat itu. Aku hanya akan menginginkan dia.
Entahlah apa ia merasa begitu. Ia bukan tipikal yang banyak
berkata-kata. Jika serius ya temui sja orangtuanya. Jika sayang
padanya ya dampingi ia mencapai cita-cotanya- bahkan bila itu berarti
aku harus mengorbankan waktuku. Seperti itulah kira-kira yanga da di
benak Hadie. Sedikit gombal. Banyak bukti. Yang membuatku yakin,
semiring apapun orang menanggapi kami, kami akan maju terus
bersama-sama
yes, I can’t live without him!
Nah, itu tadi sedikit tentang
Hadie (what? Sedikit? Haghag). Lanjut pada perantauanku. Hari-hariku
tak lagi sendiri kini
Aku pun lanjut dengan cita-citaku. Bekerja di bank swasta syariah.
Pertama aku ditempatkan di daerah BSD. Aku menangis karena tidak lagi
menghabiskan jam kerja bersama Hadie. Quality time kami terpangkas.
Aku kangen dia. Ia pun member kejutan dengan menjemputku suatu kali
(tidak setiap hari). Aku langsung menghambur ke pelukannya dan
terisak-isak. Aku tidak mau tidak bersama-sama dia.
Di bank syariah Aku menemukan
ketenangan hidup. Ketenangan bekerja. Ketenangan jam kerja juga
termasuk. Namun tidak dengan ketenangan kantong haha. Gajinya
ternyata tak sesuai. Aku pun rajin ikut tes sana sini. Begitu pun
Hadie. Hingga akhirnya pelabuhanku berikutnya, sebuah perusahaan
BUMN. Sebagai karyawan tetap. Bukan lagi outsourcing.
Aku telah mencapainya. Dan aku
tidak akan mencapainya tanpa Hadie. Dan ternyata pencapaianku itu
malah membuatku semakin jauh dengan Hadie-ku. Aku hanya memiliki
sedikit waktu untuknya. Itu pun sering kami habiskan dengan
bertengkar. Aku tak habis pikir. Padahal BUMN ini memberiku segalanya
(baca: jika segalanya yang kau maksud adalah uang).
Aku kembali memikirkan apa
tujuan aku merantau. Mencari pekerjaan? Membuatku mandiri? Membuatku
jadi wanita tangguh?
Ya, aku sudah mendapat
semuanya.
Kini salahkah bila aku ingin
kembali? Kembali mendapatkan waktuku bersama Hadie, bersama anak
kami? Aku tidak ingin menyesal nanti. 5 tahun sudah kuhabiskan dengan
berjuang bertempur darah dan air mata. Aku rasa sudah cukup dengan
dunia. Aku ingin memfokuskan diri. Aku ingin berhenti. Membangun
quality time yang tanpa batas dengan Hadie ku, dan nona Hadie
kecilku. Perantauan itu adalah menempa diri. Dan sekarang kuputuskan
untuk menempa diri sekali lagi. Aku sudah cukup lama berada di zona
nyaman-menerima gaji dan bonus tanpa perlu susah –suah mengasah
otak dan kemampuan. Kurasa sudah cukup yang kupunya untuk dunia. Aku
ingin bebas merdeka. Aku sudah melewati segalanya. Sekarang aku hanya
ingin hidup tenang dan bahagia.