Rabu, 17 September 2014

Taylor Swift



Entah mengapa, saya merasakan emosi yang sama dengan penyanyi country yang satu ini. I could really get into her songs. I understand the ‘message’ in the songs so much, I do. Mirip sekali dengan gejolak-gejolak emosi saya dulu – di masa muda haha.
Ternyata setelah ditilik-tilik, kami memang memiliki kesamaan. Sama-sama perempuan, ya kan? :P
Saya dan Taylor sama-sama Sagittarius. Saya dan Taylor memiliki kemiripan dalam menghabiskan masa muda kami tentunya-tak lain dan tak bukan-adalah di dunia percintaan- sama-sama punya banyak mantan… (ahiiir kabuuur ahhh nanti ditoyor pipiii).
Loh loh loh, g masalah dong? Itu kan DULU, masa MUDA. Saya toh sekarang sudah menetap di satu hati, dan itu MUTLAK, sudah tak bisa diganggu gugat hehehe #membeladiri.com.
Kesamaan saya dan Taylor lainnya, kami sama-sama suka menulis kisah percintaan kami. Bedanya, saya hanya bisa mendeskripsikannya lewat tulisan (seperti saat ini), sedangkan Tay (jieh sok akrab) menuangkannya dalam lirik dan nada dan menjadikannya sebagai top hits dan memenangkan berbagai award. Bayangkan pundi-pundi yang ia hasilkan karena menjual ‘cerita’ tentang mantan! Ahahaha. Bener-bener creative way to express your angry/regret/sad/revenge/loving feeling yak.
Nahhh, berikut di antara lagu-lagunya yang benar-benar ngena di saya:
1.    I Knew You Were Trouble
Luapan kemarahan dan penyesalan, pada sang mantan yang-she knew it before-adalah seorang player.  Kenapa kok bisaaaa gw masih mau aja sama elo padahal gw tauu elo itu player? Maluu banget kalau inget gw pernah jalan sama itu oraaang.

2.    Back to December
Kalau yang ini soal penyesalan. Nyesel karena udah memutuskan seseorang secara sepihak – begitu saja tanpa penjelasan. Dan ketika ia menyadari dan  ingin kembali, semuanya sudah terlambat. Klise lah yaa sebenarnyaa… Cuma karena judulnya adalah Desember, jadi saya bangettt. Kan itu bulan lahirnya orang keren like me and Tay hahaha.

3.    Everything Has Changed
Sama, ini juga penyesalan karena membiarkan seseorang yang sudah dikenal sedari dulu berlalu – tanpa sempat mengungkapkan perasaan satu sama lain (gw nangkepnya sih temen sepermainan/old friend you’ve been knowing forever yaa,, au deh yang laen nangkep apa haghag). Padahal mereka tahu sama tahu. Suka sama suka. Tapi ya itulah… Ketika mereka kembali bertemu, semuanya sudah berubah… Saya sukanya karena ngelihat video klipnya – yang diperankan anak-anak. Their acting was so pure J

4.    Shake It Off
Nah lagu ini cocokk banget buat yang suka bingung,,, heran,,, napa sih orang-orang hanya ngelihat kita dari sisi negatifnya saja??? Itu pun yang mereka PIKIR negatif. Kayak Tay yang dibilangin selaluuu gonta ganti pacar dan her dance move is… freak. Don’t they (haters) know kalo kita juga punya banyaaaak sekali kelebihan daripada kekurangan yang mereka umbar-umbarkan? Huh!
Emang iya, saya akui kalau Tay itu memang ga bisa nari – kayak yang dia gambarkan di videonya. Emang gue ga bisa nari, trusnya ngapa? Gue toh  selalu paling menikmati segala jenis musik di berbagai kesempatan. Yang saya lihat memang benar, dia selalu berada di urutan terdepan dari semua ajang, dan dia selalu mengapresiasi musisi lain dengan menari-heboh-dengan-gerakan-khasnya. She catches the beat. And she makes a good music. Isn’t that what important? Mengapa pula kita harus mengurusi mantan-mantannya yang banyak dan bagaimana ia berdansa? Hahaha. Show them (the haters) we always have reasons to keep on going the good things what we did.
Kalau saya bawa ke diri saya, ya, misalkan soal kerjaan. Mungkin saya bolot (baca:malas) bila ditugasi jobdesk marketing. Tapi lihat dulu dong kemampuan saya di taksiran berlian (ehem). Lagipula, bukankah pada saat rekrutmen memang mencari penaksir bukannya marketing? Kalau dari awal tau untuk marketing mah saya kemungkinan besar ga akan apply hahah. Lalu buat apa saya ambil S2 marketing? Buat keperluan bisnis pribadilaah … Hohoho. Sejujurnya, memang buat menunjang pekerjaan, awalnya. Cuma karena satu dan lain hal, jadilah saya sedikit kuciwawa dan akhirnya berenggan-enggan ria dalam pemasaran hehe. Jadi yahh itulah buat saya meaning lagu ini.
Nah, back to Taylor, Hal-hal kecil di atas lah yang membuat saya ngefans dengan penyanyi ini. Dia jujur. Tidak sok cantik seperti kebanyakan seleb Hollywood. Tidak jaim. Yet superrr talented. Semoga ia bisa terus berkarya daaan… tentunya menikah… hehe.

20 Facts



Hey, do you think you know your self well? Hayo monggo dibikin 20 facts about you-nya dalam jangka waktu…10 menit!!! Don’t be so serious. It’s a fun play!

Hihihi. There it go my lists:
1.    I love noodle. Indomie, ramen, spaghetti (yeah, it’s Italian noodle right? Haha), tom yum, you name it. If I find one in a menu list, I won’t choose any other food.
2.    I am an author inside. I start to make my short story and a minimagz-version-of mine while I’m at junior high school (SMP). I made all of the character, the story – by my own.
3.    I had a crush to Nick Carter from the Backstreet Boys at age 10 and finally met him at age 26 (only 1 meter away)! So so so happy!
4.    I met my husband at age 22, at Citibank Tower, Pondok Indah. And then I moved from the office. Working is never be the same without him L
5.    I am soo welcome to have an offer to replace Widi Vierratale’s place hahaha.
6.    I hate history and geographic. What the hell to do with something happened centuries ago? I used to chase away from these two classes. Haha sorry teachers!
7.    Yet, my favourite are English and chemistry. No wonder I choose chemistry for the 2nd choice, and English literature at UI for the 3rd choice. My 1st choice? Well, like every parents will, it has to be… medical faculty. Oh y*ck.
8.    I used hijab at age 16 and never plan to took it off even society at that time telling me that it (hijab) will make me get a job hardly. Pfew.
9.    If I was angry, thank God if I still let you know. If I choose not to, then you are one level above my patient-tolerance. Hoho.
10. I can’t play any single music instrument. I’ve learned, really. I took keyboard courses and buy a violin. But still, I choose to sing…
11.  I’m afraid of any kind of pets! Furry or not.
12. I am a stubborn and very-tight-in-schedule person. I need to take an ease a little bit.
13. I love pinus and lavender essences for my room and (or) car, and vanilla/ cherry/ jasmine as my own fragrance.
14. My very first job is a singer (yaa they paid me for singing! Yay!)
15. I like brown and pink to be my clothing-signature.
16. I prefer beach than mountain/hills. I have an cold allergy!
17. When I wake up in the morning, I need 5-10 minutes to be in silence. No thought, no talk, no move.
18. If I had time alone, I’ll be writing, or singing and dancing like a freak!
19. I had a little angel who shines my life everyday, and I plan to give her a little brother or sister. Wishh me luck hihi.
20. Believe it or not, I was the basket ball player in Senior High! (you may laugh if you want to hahaha)

What Are You Good At?



Recently, terlalu banyak saya mendengar kata: ah mana bisa. Ah engga mungkin. Ah udahlah udah tua mau ngapain lagi.
Yea, young generation today choose to limitate their own selves (dooh, sok tua yak eyke?).
Saya juga kadang-kadang ngomong begitu sih… Tapi dalam hati sebenarnya saya ngeyel begini: mampuuus gw mau banget jadi penyanyiii. Or: anyiiirrr gw pengen doong kerja di Kemlu, kinda cool punya banyak relatif dari seantero bumi!

Ahahaha, got me!

Jadi sebelum kita memutuskan untuk berkata tidak bisa atau tidak mungkin, yuk kita sekarang berkenalan dulu sama diri kita… Buat deh, daftar kebisaan kita-yang benar-benar ahli kita lakukan-bahkan tanpa ada yang mengajarkan. Contohnya saya nih yaa (eng ing eeeng):



-       I’m good at musical
Saya suka menari dan bernyanyi. Dari kecil, saya selalu pengin tampil di panggung. Banci tampil. Saya tidak bisa bilang suara atau tarian saya bagus, tidak. Tapi saya yaah bolehlah.
Dipilih sebagai teman duet buat rekaman oleh seorang rekan – yang suaranya mirip Afgan – diajak duet juga oleh senior yang pintar memainkan gitar – membuktikan kalo suara saya kan ga jelek-jelek amat. Ya kan? Yak an? Hahaha.
Lalu saya diajak ikut menari oleh rekan yang memang dancer, membuktikan jika saya memang memiliki kemampuan di bidang ini.
Satu lagi, saya dulu ditunjuk sebagai pelatih tim folksong (tim menari dan menyanyi di kampus.red), membuktikan saya memang (ehm) mampu, kan? Setidaknya, menurut sekitar saya, saya mampu. Pede abissss.

-       I’m pretty good at literature
Dalam kurun waktu beberapa bulan ini, tulisan saya mengenai rumah tangga dan anak sukses membuat orang menangis. Dulu, di kampus, tulisan ‘pesan dan kesan’ setelah praktikum saya selalu dibacakan senior, karena katanya tulisan saya… jujur, apa adanya, bikin ketawa, (di satu sisi saya yakin, bikin senior pengen ngegeplak pala saya kali), dll. Itu, membuat saya sangat senang. Saya senang dihargai, dipuji, dengan hal yang memang-saya bisa dan have fun melakukannya J Itu membuat saya semakin semangat berkarya! Saya memang masih belum jadi menulis novel. Novel pertama yang saya buat dengan suksesnya dieksekusi oleh teman saya yang udah penulis beneran: apaan ini?? Apa ga bisa lebih mengena pembaca lagi? Ahahaha. I’m editing now fellaa.. nanti tolong dikoreksi kembali yaaak.
Saya juga bisa menata emosi dengan baik. Lewat tulisan, ya. Secara verbal, saya sulit menahan emosi (marah, sedih, kecewa). Saya lebih sering diam jika dalam keadaan tidak senang. Jika saya sedang senang ya saya akan tertawa keras-keras :P
Saya suka menulis dan membaca. Saya bisa berbahasa negeri Ratu Elizabeth dengan sangat baik-yang mana itu terjadi hanya karena kemauan saya saja. Saya tidak les untuk pintar berbahasa universal tersebut. Saya hanya mengoleksi kaset di kala SMP, rewind, playback, lihat lirik di kaset, liat kamus, dan yak. Saya bisa dengan sendirinya. Sombong? Engga. Karena setiap orang diberi bakat yang berbeda-beda. Kalo kayak fisika, saya mau guling-guling belajar macam apapun, saya ga akan bisa-bisa. Haha. Pun dengan akuntansi, marketing (heyy padahal saya S2 marketing looh hahaha), politik, menggambar daaan memasak. I’m bad at those things, no matter how hard I try, teteupp sajaa… ga bisa bisaaa.

-       I’m good at statistic
Satu-satunya sub mata ajaran matematika yang saya bisa. Tolong jangan beri saya soal sin cos tang, turunan, tanjakan (eh?) dan teman-temannya. Hanya statistik yang saya bisa. Entah mengapa, saya menyukainya. Dulu, di kuliah saya belajar manual. Saya suka sekali menghitung peluang (mana yang lebih besar, peluang jadian dengan si X atau si Y? Ahahaha). Sssst, saya malah tidak paham sama sekali dengan SPSS yang automatically bisa menyelesaikan hitungan statistik dalam sekejap! Hahaha. Thanks God my husband expert at it. It helped me so much during my thesis.

-       I’m good at sports!
Oh yeah? Really? *lihat saya dari ujung kaki ampe ujung rambut. Ga seujung-ujung pun kelihatan sosok atletisnya hahaha*
Yep. Saya bisa badminton, senam, dan lari dengan baik. Silahkan looh kalau mau adu ketiga cabang itu dengan saya. Haha nantangin. Selain itu, saya juga tercatat sebagai tim basket SMA. Waktu kelas 1, sebelum berhijab, saya ikut tim basket. Setelah berhijab, saya undur diri karena latihannya HARUS pake celana di atas paha sedikit dengan alasan agar tidak membatasi ruang gerak. Ahay bingit kan. Terpaksalah saya say bye bye, gantung sepatu dari dunia basket (ealaah pensiun dini ceritanyaa).
Nah, meski I love sports, saya ini paling ga bisa yang namanya volley ball sama lempar-lemparan itu. Lempar lembing kek, apa kek. Saya ga bisa. Tangan mungil saya ga kuat buat olahraga begituan (ahahahak).

Minggu, 13 Juli 2014

Akhir Sebuah Perantauan



November 2008.

Saya baru saja diwisuda dua bulan sebelumnya. Ijazah dan transkrip nilai saya baru saja diambil, fresh from the oven.
Lalu apa setelahnya?
Saya akan melanjutkan hidup saya dengan cara bagaimana?
Terus terang, belum terpikirkan.

Tibalah saya dipertemukan dengan seorang rekan yang telah menjadi Pimpinan Tim di sebuah Bank Swasta Asing di Ibukota. Langsung saja saya menyodorkan diri (hey, you gotta make a chance for your ownself, not only waiting for a chance to be offered!) untuk menjadi pegawai di Bank-nya. I think that will be cool, fresh graduated, bekerja di Bank Asing, di Ibukota pula. Belum tentu saya mendapatkan kesempatan itu, memang. At least I’ve tried.

Kepergian saya pada mulanya ditentang oleh kedua orang tua saya. Lantas ayah saya melunak dan mengatakan, oke, pergilah kamu, tempalah diri kamu dulu di negeri orang (ceileh cuma lintas pulau aja pake bilang negeri orang hahaha) , lalu setahun atau dua tahun sesudahnya, kembalilah kamu untuk pekerjaan yang tetap disini.

Ibu saya menangis, tentu. Beliau masih belum rela melepas anak gadisnya yang cantik jelita (80% bohong!, berarti kadar kecantikan saya ini hanya 20%...) ke kota yang (katanya) super keras, super biadab! Hahaha. How come.

Saya pun tak menyangka akan memiliki keinginan untuk merantau. FYI, ketika saya PKL kampus saya dulu ditahun ketiga kuliah, di sebuah pabrik di Ibukota (dan sekitarnya), saya menangis sesenggukan merindukan keluarga saya dan menyesali keputusan PKL diluar kota tersebut-sampai-sampai nenek saya datang menemani saya di kontrakan petak empat yang saya sewa berdua dengan teman saya.

Apa yang membuat saya membulatkan tekad merantau? Ikuti hati... Life is full of mistery. And for me, misteri itu ternyata terkait dengan... JODOH.

Hahaha. Pada akhirnya saya memang berjodoh dengan seorang lelaki yang saya temui di Bank Swasta Asing tersebut.

Dan lelaki ini pulalah-yang mengantarkan saya-dari seorang perempuan kota kecil yang penuh mimpi, sedikit-demi-sedikit mulai menjemput impiannya satu per satu.

Dimulailah perjalanan saya. Saya tipe yang cepat bosan bekerja. Resign dari Bank Swasta Asing hanya dalam hitungan 3 (tiga) bulan saja. Saya pun hijrah ke Bank Syariah, pelopor Bank Syariah, tepatnya. DIsini pula tak lama. Hitungan 6 (enam) bulan, saya cabut-tanpa permisi-tanpa surat resign-mangkir begitu saja. Karena apa? Karena saya diterima di sebuah perusahaan BUMN, pada akhirnya....

Puas?
Iya, awalnya.
Akhirnya saya menang, begitu pikir saya. Saya berhasil menaklukkan ‘kejam’nya Ibukota. Saya berhasil membuktikan pada orangtua saya bahwa saya mampu-tanpa campur tangan mereka (selain doa) untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan membanggakan.

Awalnya.

Akhirnya?
I am getting sick of it. Lima sampai enam jam perjalanan setiap harinya akhirnya membuat saya menyerah. Kalah. Tidak, bukan menyerah selamanya. Saya hanya butuh sedikit...beristirahat. Saya sudah cukup bertarung. Saya ingin duduk santai sambil menikmati secangkir kopi (dingin, tentunya) dan sebatang coklat kesukaan saya. 

Saya tidak menyerah.

Saya ingin kehidupan saya...seimbang.

Tidak melulu menghadapi macetnya jalan, keruhan dimana-mana.

Saya ingin menyeimbangkan hidup saya, dan suami saya, dan terutama, anak saya.

Disinilah saya, Juli 2014.

Kurang beberapa bulan dari masa 6 (enam) tahun menjadi seorang perantauan.

Saya kembali... Kembali ke kehidupan yang jauh-lebih-sederhana. 
Saya ingin menikmati secangkir teh sambil berbincang dengan keluarga saya.
Saya ingin menyesapi momentum, sesaat saja, untuk mengumpulkan kembali energi saya untuk bertarung.
Saya ingin meraih mimpi yang tak kunjung bisa saya wujudkan di Ibukota-karena terbentur sedikitnya waktu.

Saya tak bermaksud untuk bermanja-manja, kembali ke zona nyaman saya, saya hanya butuh...istirahat. Sejenak...

Bolehkah?


Rumah Yang Ditinggal

Suatu hari aku melewati sebuah rumah besar. Tertulis jelas-jelas di pagar yang dinding sisi kiri kanannya telah dihiasi lumut hitam, DIJUAL.

Ah, kemanakah para penghuninya?
Disana pasti pernah terukir cerita. Kehangatan ruang keluarga, cerianya anak-anak berlarian menyusuri tangga, suami istri yang bercengkrama, ada pula kakek dan nenek yang datang dari desa...

Rumah besar itu terkesan angkuh dan dingin. Apakah kesendirian yang membuatnya demikian? Apakah yang membuatnya-yang sedianya menjadi tempat tinggal-kini malah ditinggalkan? Mereka semua pastilah berbahagia-hidup berkecukupan-di rumah semegah itu, bukan?

Apakah itu karena...

Rumah yang jauh lebih besar? Di luar kota? Atau mungkin di luar negeri?

Apakah penghuninya sudah tak ada lagi di dunia ini?

Apakah penghuninya telah jauh hari berpisah satu sama lain?

Apakah seluruh penghuninya memilih untuk melewati harinya-masing-masing-saja-sendiri-sendiri?

Ah, entahlah...

Rumah yang ditinggal selalu menjadi saksi bisu akan cerita suatu keluarga. Bagaimana mereka berbahagia, bagaimana mereka berjuang, bagaimana mereka bertengkar, bagaimana mereka bertahan....

Semoga saja, si rumah yang ditinggal segera mendapatkan tuan rumah barunya. Dan demikian, si rumah pun akan kembali hangat-seperti sedia kala.

Senin, 07 Juli 2014

My Baby Loves Jazz!


Oh, really. 

How do I know?

Of course I know, I’m her momma :D

Ketika bayi. Ia masih berusia sekitar beberapa minggu. Kala menangis ia hanya akan berhenti ketika mendengar lantunan suara Glenn Fredly di iklan suatu merk kopi. Dan ketika beranjak dewasa (jika belasan bulan telah dikategorikan demikian haha), ia senang mendengar Raisa dan Andien.

Mungkin, memang, karena ibunya suka. Tapi seingat saya, saya jarang sekali mendengarkan musik saya di hadapannya. Saya paling-paling mendengar musik di dalam perjalanan. Di rumah, total Alika. Musik yang disetel paling hanya classical-instrumental pengantar tidurnya. Dan saya ingat, dulu, kala ia di dalam kandungan, ia suka saya perdengarkan berbagai musik klasik, memang (dan Adam Levine. Dan One Direction kalau tidak salah hahaha).

Anak kan memang berbeda-beda. Alika akan berjoget mendengarkan irama flute atau piano yang-saya-saja-hanya-mendengar--samar-dan mengalir dalam alunan indah nan sederhana, ia begitu semangat mendengarkannya, sambil menggoyangkan kepala dan memijakkan kaki ala-ala balerina. Ia pasti akan bangkit berdiri mendengarkan lantunan alat musik di Pony Bear tersebut (on Baby First)- saat si Pony menebak suara apa gerangan yang diputar oleh pemutar piringan hitamnya. Namun ketika mendengarkan acara anak lainnya, misal, Monkey Say Monkey Do on Jim Jam, ia tidak begitu memerhatikan. Tak masalah, bukan? Hanya soal selera (Oh my God! We’re talking about 21 months old baby girl loh ini, tau apa dia soal taste? Haha!).

Alika pun sangat pay attention ketika band live music di sebuah kafe memainkan lagu… jazz. Bahkan, ia bertepuk tangan ketika sang band mengakhiri penampilannya. Ketika band tersebut memainkan musik yang agak-keras-(tak sesuai seleranya), ia cuek saja. Melengos sambil melanjutkan makannya…

Psst…selain jazz, ia juga suka dangdut dan K-Pop. Hahaha. Apalagi iklan macam ichi-ocha, mie sedam ayam krispi (yang goyang-goyang pipi itu looh), dan banyak lagi kok yang dia suka. Macam-macam. Belum dapat disimpulkan secara mutlak. Apapunlah itu, my dear, tetaplah menjadi anak sholehah yaa.

Kamis, 03 Juli 2014

Tentang Pemilu 2014

Pemilu Presiden 2014 ini adalah pemilu paling HOT yang pernah saya alami. Mungkin karena calonnya hanya ada dua. Kemajuan teknologi memudahkan siapa saja untuk mengakses apa saja dan lalu berkomentar sesukanya. Baguslah. Berati masyarakat sudah semakin melek politik.

Saya pun termasuk.

Saya membela pilihan saya sekuat hati. Mengapa? Saya mau mengajak. Bukan untuk kepentingan saya pribadi, bukan. Saya hanya ingin melihat negara kita ini menjadi hebat, bukan sekadar mengandalkan bantuan, bantuan, dan bantuan.

Salah?

Pasti, bagi yang tak sepaham. Buat saya tidak masalah. Mereka pun memiliki pandangan sendiri terhadap apa yang mereka anggap baik untuk diri mereka dan negara.

Lalu mengapa saya masih menerima, katakanlah, perlakuan yang menurut saya kurang menyenangkan. Bukankah saya tidak melakukan apa-apa selain mengajak memilih jagoan saya? Mengapa pihak seberang memilih untuk mengintimidasi saya bahwa pilihan saya: SALAH.

Ada juga kelompok yang mulai jengah. Topik yang sama selama berminggu-minggu membuat mereka gerah. Eneg, katanya. Ya tidak masalah juga. Tidak berarti mereka tidak ikut memilih, kan? Mungkin saja mereka telah menentukan pilihannya, namun memilih untuk tidak ikut serta dalam mengajak sekitarnya agar turut menjagokan jagoannya. Note ya, mengajak. Bukan mengintimidasi dan mengatakan pilihan lawan salah :)

Tidak masalah.

Jadi ada 3 kubu sebenarnya sekarang. Kubu persuasif (saya), kubu intimidatif (yang meneror saya), dan pasif (yang mengatakan eneg).

Apapun. Itu pilihan masing-masing.

Sungguh pun demikian, saya hanya menginginkan yang terbaik untuk negara ini. Negara besar yang entah mengapa masih dinominasi oleh kemiskinan :( Hal ini membuat saya sedih. Jurang pemisah antar the have dan the haven't semakin lebar.

Suatu waktu saya melihat orang mengendarai lamborghini. Di waktu lain saya melihat ibu dan anak mendorong gerobak sampah di malam hari.

Suatu waktu saya melihat Ibu menggadaikan emas dalam jumlah fantastis hanya untuk belanja bersama anak-anaknya. Di waktu lain saya melihat bayi-bayi yang diajak mengamen di lampu merah di keramaian ibukota.

Saya sedih.

Jadi saya memilih untuk mengajak-orang-orang dalam menentukan pilihannya. Pilihlah yang akan membuat bangsa ini sejahtera. Yang akan mengerucutkan jarak pemisah the have dan the haven't. Yang akan membuat semakin banyak anak tukang becak dan kuli bangunan menikmati indahnya wisuda. Yang akan menjaga kedaulatan RI. Yang akan menjadikan Indonesia bangsa yang mandiri-tanpa bergantung pada asing di setiap jengkalnya.

Saya memang bukan saudaranya capres jagoan saya. Saya juga bukan orang yang akan mendapatkan sesuatu (baca: posisi dan uang) karena membelanya. Saya juga bukan calon menantunya (eh?hahaha). Saya hanya orang asing baginya-satu dari jutaan pendukungnya-yang tetap akan mencari nafkah bagi keluarga sendiri bila pun ia nanti terpilih :)

Jadi, berhentilah bersikap apatis. Menanyakan memangnya dapat apa dapat apa-jika melakukan sesuatu-yang diluar kebiasaan kita. Mulailah berpikir mengenai kehidupan yang lain di luar kehidupan kita. Jika kita semu hanya memikirkan "yang penting aku dan keluargaku makan. Hidup aman". Lalu bagaimana dengan orang lain-yang baginya makan dan merasa aman-itu adalah suatu kemewahan?

Ah, saya pun sama juga ternyata. Menyebut orang lain apatis otomatis membuat saya sama saja dengan mereka. Mengatakan "situ jelekin A, sini jelekin B, trus yang baik siapa? Kamu? Mikir!".

Lantas apakah itu membuat si pembicara menjadi orang baik? Tidak juga.

Jadi ya sudah. Jalani saja hidup kita tanpa perlu rewel dengan orang yang tak sepaham. Yang penting kita dan keluarga kita makan, toh?

Hahaha *kaliiniantiklimaks*