Beberapa
waktu lalu di laman facebook saya, ada seorang kawan yang
memposting hal yang sedikit menggelitik saya, dan banyak pula
direpost oleh kawan-kawan lainnya, kira-kira intinya begini:
Menjadi
Ibu bukan mengenai lahir normal atau sesar
Bukan
mengenai ASI atau sufor
Bukan
mengenai bekerja atau di rumah
Semuanya
mengenai Cinta. Menjadi Ibu LEBIH dari 'sekedar' semua itu
Deg.
Suddenly
I feel so sorry to read that :(
Butuh
waktu lama bagi saya untuk mencernanya dan membalas postingan
tersebut.
Sebagian
dari diri saya masih membenarkan, soalnya...
Lalulah
saya susun kalimat per kalimat dalam benak saya, dan akhirnya saya
tuliskan begini.
Memang,
cinta setiap Ibu SAMA besarnya kepada anaknya, baik bekerja maupun
bukan, baik ASI maupun bukan, baik lahir sesar atau pun normal.
Seorang Ibu adalah seorang Ibu yang akan mempertaruhkan APA SAJA
untuk anaknya.
(Noted
ya, APA SAJA).
Sungguh
pun demikian
Bukan
ESENSI dibalik itu semua BERBEDA?
Kita
patut BERTANYA terlebih dahulu, apa yang menyebabkan sang Ibu
'memilih' jalannya.
Lahir
normal atau sesar
Tidak
ada salahnya melahirkan di meja operasi sepanjang dilakukan untuk
menyelamatkan Ibu dan si bayi. Tapi bila sesar menjadi pilihan karena
ingin menghindari rasa sakit dan takut?
Nah.
Bahkan
jika kita mau berflashback ria, nenek kita anaknya banyak. Ada yang
lima, tujuh bahkan belasan. Dan mereka semua melahirkan normal, kok?
Akan
ada jawaban di benak beberapa orang, itu kan dulu. Sekarang
jaman sudah berubah.
Oh
well...
ASI
atau sufor
ASI
adalah pengikat batin Ibu dan bayi. Ini sudah harga mati. Apa yang
menyebabkan seorang ibu TAK MAMPU memberikan ASI?
ASI
tidak keluar? Itu jawaban BASI.
Saya
hingga usia anak 20 bulan saat ini, ASI saya masih menetes-netes.
Kuasa Sang Ilahi bagi mereka yang memercayai.
Iya,
saya akui, sempat terlintas di benak saya untuk memberi susu sapi
pada si bayi, kala usianya
baru
dua hari, sakitnya Masya Allah, (maaf) puting saya sampai
berdarah-darah dan perih sekali. ASI nya masih sedikit sekali. Saya
menyusui si bayi sampai bercucuran airmata.
Menyerahkah
saya?
Tidak.
Kebetulan saya melahirkan di RSIA yang pro ASI :) Jadi mereka
(beserta Ibu dan suami saya) selalu menyemangati saya, mengusap-usap
kepala saya yang menyusui sambil menahan isak tangis.
Dan
memang rupanya, Allah tidak tidur.
Di
hari ketiga, ASI saya mengucur deras dan sejak itu si bayi pun
berhenti mengigiti :)
Kembali
bekerja, ASI saya pompa tiap hari. Memang bayi saya hanya S1 ASI,
tapi setelah 6 bulan pun ia menolak keras sufor, ia hanya meminumnya
sesekali, di kala stok ASIP saya tak mumpuni. Manakala ada Ibu yang
menunda memompa ASI dengan berkilah, “Ah, ntar, ah, malas, ah,
capek. Ah, ga ada watu”. Jawaban seperti inilah yang sedianya
membedakan esensi yang saya maksud tadi...
Nah.
Masih
ada jawaban tak bisa memberikan ASI?
Bekerja
atau Di rumah
Bahasan
yang tak ada habisnya.
Ya,
saya masih bekerja.
Dan
saya akan segera berhenti.
Saya
bekerja di suatu perusahaan BUMN yang cukup besar, hingga ketika saya
membuat wacana ingin keluar, sontaklah semua penggemar (eh, maksud
saya keluarga... hehe).
Komentar
mereka...
Sayang
sekali >> loh, masa sayangan sama kerjaan daripada sama anak?
Duh,
buka toko kan bisa sambil kerja? >> lah, bekerja saja saya
hampir-hampir tidak ada waktu untuk anak saya, apalagi diSAMBIL buka
toko segala? Kalau saya hanya buka toko saja kan nikmat, bisa sambil
bawa-bawa anak saya setiap hari :)
Cari
kerjaan susah loh >> kata siapa? Saya bahkan diundang ikut
rekrutmen oleh BI #uhuk #sombongdikit
Duh ga
bakal nyesel nanti? >> ya, pasti. Tapi akan JAUH lebih menyesal
bila tak mendampingi proses besarnya si buah hati :)
Dan
macam-macam lainnya.
Mari
kita lihat, apa tujuan Ibu bekerja?
Menopang
ekonomi keluarga?
Nah,
disini mari pertanyakan kembali, dimana peran AYAHnya? Saatnya
ayah UNJUK GIGI :) Berhentinya wanita bekerja untuk memfokuskan diri
ke rumah tangga adalah jihadnya seorang wanita. Ayo ayah, ayo bantu
Ibu untuk berjihad :)
Ya,
ada Ibu yang jadi tulang punggung keluarga.
Ya,
ada Ibu yang mungkin di hatinya terpaksa bekerja, demi menopang
keluarga.
Sungguh
pun demikian, rejeki Allah datang dari mana saja, apalagi diiringi
dengan NIAT MULIA.
Saya
punya banyak contoh. Hanya para suami yang bekerja. Anak bukan hanya
satu dua. Tapi empat. Suami berdagang 'saja'. Allah memang Maha Besar
dan Maha Mencukupkan. Rumah, mobil, punya. Hutang tak ada. Mereka
hidup bahagia hingga kini :)
Kita
yang suami-istri bekerja di perusahaan, paling punya anak berapa?
Satu? Dua? Itu pun dipusingkan dengan tagihan ini-itu, mengeluh capek
melulu, dihajar kemacetan dan kelelahan. Uh oh.
Jadi
sekali lagi, saya PERCAYA setiap IBU memiliki CINTA yang SAMA
besarnya untuk buah hatinya.
Tetapi,
ESENSInya yang berbeda.
Terimakasih
banyak. No hard feelings ya :) Saya juga masih bekerja dan
menitipkan anak di pengasuh kok :) Salam cinta untuk anak kita
Trinitaria...one of my smart fellas.
BalasHapusDia berani mengungkapkan apa yg dirasain, apa yg ga sesuai dengan prinsip hidupnya...dan diungkapkan dengan cara yg halus tapi ngena! Saya kagum dengan ibu satu ini...dan belajar banyak dari kehidupan serta pemikirannya yg tajam. Angkat ketek..eh gelas untuk ibu ini..toss!!