Minggu, 01 Juni 2014

Tergelitik!

Beberapa waktu lalu di laman facebook saya, ada seorang kawan yang memposting hal yang sedikit menggelitik saya, dan banyak pula direpost oleh kawan-kawan lainnya, kira-kira intinya begini:


Menjadi Ibu bukan mengenai lahir normal atau sesar

Bukan mengenai ASI atau sufor

Bukan mengenai bekerja atau di rumah

Semuanya mengenai Cinta. Menjadi Ibu LEBIH dari 'sekedar' semua itu


Deg.


Suddenly I feel so sorry to read that :(

Butuh waktu lama bagi saya untuk mencernanya dan membalas postingan tersebut.

Sebagian dari diri saya masih membenarkan, soalnya...


Lalulah saya susun kalimat per kalimat dalam benak saya, dan akhirnya saya tuliskan begini.


Memang, cinta setiap Ibu SAMA besarnya kepada anaknya, baik bekerja maupun bukan, baik ASI maupun bukan, baik lahir sesar atau pun normal. Seorang Ibu adalah seorang Ibu yang akan mempertaruhkan APA SAJA untuk anaknya.

(Noted ya, APA SAJA).


Sungguh pun demikian

Bukan ESENSI dibalik itu semua BERBEDA?


Kita patut BERTANYA terlebih dahulu, apa yang menyebabkan sang Ibu 'memilih' jalannya.


Lahir normal atau sesar


Tidak ada salahnya melahirkan di meja operasi sepanjang dilakukan untuk menyelamatkan Ibu dan si bayi. Tapi bila sesar menjadi pilihan karena ingin menghindari rasa sakit dan takut?


Nah.

Bahkan jika kita mau berflashback ria, nenek kita anaknya banyak. Ada yang lima, tujuh bahkan belasan. Dan mereka semua melahirkan normal, kok?


Akan ada jawaban di benak beberapa orang, itu kan dulu. Sekarang jaman sudah berubah.

Oh well...


ASI atau sufor


ASI adalah pengikat batin Ibu dan bayi. Ini sudah harga mati. Apa yang menyebabkan seorang ibu TAK MAMPU memberikan ASI?


ASI tidak keluar? Itu jawaban BASI.


Saya hingga usia anak 20 bulan saat ini, ASI saya masih menetes-netes. Kuasa Sang Ilahi bagi mereka yang memercayai.


Iya, saya akui, sempat terlintas di benak saya untuk memberi susu sapi pada si bayi, kala usianya

baru dua hari, sakitnya Masya Allah, (maaf) puting saya sampai berdarah-darah dan perih sekali. ASI nya masih sedikit sekali. Saya menyusui si bayi sampai bercucuran airmata.

Menyerahkah saya?

Tidak. Kebetulan saya melahirkan di RSIA yang pro ASI :) Jadi mereka (beserta Ibu dan suami saya) selalu menyemangati saya, mengusap-usap kepala saya yang menyusui sambil menahan isak tangis.


Dan memang rupanya, Allah tidak tidur.

Di hari ketiga, ASI saya mengucur deras dan sejak itu si bayi pun berhenti mengigiti :)


Kembali bekerja, ASI saya pompa tiap hari. Memang bayi saya hanya S1 ASI, tapi setelah 6 bulan pun ia menolak keras sufor, ia hanya meminumnya sesekali, di kala stok ASIP saya tak mumpuni. Manakala ada Ibu yang menunda memompa ASI dengan berkilah, “Ah, ntar, ah, malas, ah, capek. Ah, ga ada watu”. Jawaban seperti inilah yang sedianya membedakan esensi yang saya maksud tadi...


Nah.


Masih ada jawaban tak bisa memberikan ASI?


Bekerja atau Di rumah


Bahasan yang tak ada habisnya.


Ya, saya masih bekerja.


Dan saya akan segera berhenti.

Saya bekerja di suatu perusahaan BUMN yang cukup besar, hingga ketika saya membuat wacana ingin keluar, sontaklah semua penggemar (eh, maksud saya keluarga... hehe).


Komentar mereka...


Sayang sekali >> loh, masa sayangan sama kerjaan daripada sama anak?

Duh, buka toko kan bisa sambil kerja? >> lah, bekerja saja saya hampir-hampir tidak ada waktu untuk anak saya, apalagi diSAMBIL buka toko segala? Kalau saya hanya buka toko saja kan nikmat, bisa sambil bawa-bawa anak saya setiap hari :)


Cari kerjaan susah loh >> kata siapa? Saya bahkan diundang ikut rekrutmen oleh BI #uhuk #sombongdikit


Duh ga bakal nyesel nanti? >> ya, pasti. Tapi akan JAUH lebih menyesal bila tak mendampingi proses besarnya si buah hati :)


Dan macam-macam lainnya.


Mari kita lihat, apa tujuan Ibu bekerja?

Menopang ekonomi keluarga?

Nah, disini mari pertanyakan kembali, dimana peran AYAHnya? Saatnya ayah UNJUK GIGI :) Berhentinya wanita bekerja untuk memfokuskan diri ke rumah tangga adalah jihadnya seorang wanita. Ayo ayah, ayo bantu Ibu untuk berjihad :)


Ya, ada Ibu yang jadi tulang punggung keluarga.

Ya, ada Ibu yang mungkin di hatinya terpaksa bekerja, demi menopang keluarga.

Sungguh pun demikian, rejeki Allah datang dari mana saja, apalagi diiringi dengan NIAT MULIA.


Saya punya banyak contoh. Hanya para suami yang bekerja. Anak bukan hanya satu dua. Tapi empat. Suami berdagang 'saja'. Allah memang Maha Besar dan Maha Mencukupkan. Rumah, mobil, punya. Hutang tak ada. Mereka hidup bahagia hingga kini :)


Kita yang suami-istri bekerja di perusahaan, paling punya anak berapa? Satu? Dua? Itu pun dipusingkan dengan tagihan ini-itu, mengeluh capek melulu, dihajar kemacetan dan kelelahan. Uh oh.


Jadi sekali lagi, saya PERCAYA setiap IBU memiliki CINTA yang SAMA besarnya untuk buah hatinya.


Tetapi, ESENSInya yang berbeda.


Terimakasih banyak. No hard feelings ya :) Saya juga masih bekerja dan menitipkan anak di pengasuh kok :) Salam cinta untuk anak kita



1 komentar:

  1. Trinitaria...one of my smart fellas.
    Dia berani mengungkapkan apa yg dirasain, apa yg ga sesuai dengan prinsip hidupnya...dan diungkapkan dengan cara yg halus tapi ngena! Saya kagum dengan ibu satu ini...dan belajar banyak dari kehidupan serta pemikirannya yg tajam. Angkat ketek..eh gelas untuk ibu ini..toss!!

    BalasHapus